Sejak reformasi sampai saat ini, sudah beberapa kali
terjadi perubahan UU Pemerintah Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang pertama
kali pasca reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun
1974, kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan
perubahan menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi
kebijakan pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir
adalah UU 23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2
Tahun 2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur
pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Berbagai dinamika dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah tersebut
mulai dari arah sentralisitik sampai desentralistik. Sebagai negara kesatuan
Indonesia tentu menerapkan pembagian
urusan pusat dan daerah dengan tetap mengacu pada pola desentralisasi,
dekonsentrasi dan medebewind.
Perubahan kebijakan
hubungan pusat dan daerah di Indonesia pada dasarnya mengacu pada ultra vires doctrine (merinci satu persatu urusan pemerintahan yang
diberikan kepada daerah) dan risidual
power atau open end arrengement (konsep
kekuasaan asli atau kekuasaan sisa).
Ultra vires doctrine lebih terasa
pada pola sentralisitik sementara residual
power lebih mengarah ke desentralistik. Bahkan ada menganggap bahwa residual
power sebenarnya merupakan pola hubungan pemerinta pusat dan daerah yang biasa
diterapkan dalam konsep negara federal. Sementara dalam negara kesatuan
kekuasaan sisa idealnya berada ditangan pusat.
Pola hubugan pusat dan daerah sejak pemberlakuan UU Nomor
5 tahun 1974 sampai UU Nomor 23 Tahun 2014 mengalami dinamika perubahan. UU
Nomor 5 tahun 1974 lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra vires doctrine karena
kewenangan yang diberikan kepada daerah dirinci satu persatu. Sementara UU Nomor
22 Tahun 1999, UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 kewenangan yang diberikan
bersifat residual power atau open and arrengmet atau general competence
karena semua kewenangan diberikan kepada daerah kecuali urusan yang ditangani oleh pemerintah pusat,
yakni moneter dan fiskal nasional, pertahanam dan keamanan, urusan luar negeri,
peradilan, dan agama
Selain itu sistem
pembagian kekuasaan yang didesentralisasikan ke daerah di Indonesia juga
menerapkan desentralisasi a simteris dan desentraisasi simetris.
Desentralisasi a simetris terasa dalam UU No 22 Tahun 1999, dimana ada
pemberian otonomi khusus bagi beberapa daerah (Aceh, Jogya dan Papua).
Sementara dalam UU No 5 tahun 1974 hanya desentralisasi simetris (biasa)
Perubahan Kebijakan dalam berbagai Perspektif
Perubahan kebijakan dalam hubungan pusat dan daerah tidak bisa
dilepaskan dari konteks, format dan ideologi politik penguasa. Ketika penguasa
baru saja tampil dan menyusun kekuatan, maka dikembangkan kebijakan yang agak
terbuka. Namun ketika kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka
kebijakan bisa dirubah dengan tertutup, otoritarisme atau malah totaliterisme.
Hal ini sejalan yang
dikemukakan Stefaan Walgrave bawha perubahan kebijakan menjadi
masalah agenda-setting, kondisi penting
bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik.
Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca
pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi
masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan
pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999
yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada
keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU
sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah
untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).
Selain persoalan agenda setting seperti dikemukan diatas, Geoffry
Duedly dan Jeremy Ricadson dalam melihat perubahan
kebijakan di Inggris antara tahun 1945-1999 melihat lebih lengkap menguraikan variabel
perubahan kebijakan dalam sebuah negara. Bahwa ada empat variabel utama dalam
perubahan kebijakan yang dikenal dengan konsep 4 I, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan),
institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu)
Empat variabel ini dapat membantu
melihat perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah yang terjadi di
Indonesia. Ide-ide untuk lebih memberikan kewenangan lebih luas muncul pasca
tumbangnya rezim Soeharto yangg dianggap gagal membawa Indonesia lebih
demokratis. Bahkan munculnya gerakan separatis seperti Papua Merdeka, Aceh
Merdeka, Republik Maluku Serikat, akibat kekecewaan daerah terhadap pusat. Varibel interest (kepentinga-kepentinga) juga
terasa dalam perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah. Adanya interest
masing-masing daerah serta problem-problem kedaerahan yang dialami
masing-masing provinsi membawa pola hubungan pusat dan daerah hampir terjadi ‘lost control’ dengan meneriakkan
federalisme. Sementara institusions (lembaga-lembaga) khususnya pemerintahan
dilakukan restrukturisasi agar bisa bekerja maksimal. khususindividu-individu
khususnya elit mulai lebih banyak bersuara untuk mendesak agar pengelolaan
pemerintahan daerah untuk ditinjau sebelum isu-isu federalisme tidak semakin
luas diteriakkan di daerah.
Pokok
Perubahan UU Pemerintahan Daerah
UU
No 5 Tahun 1974
Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah dalam
UU Nomor 5 Tahun 1974 lebih condong kearah sentralistik. Beberapa karateristik
yang menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5 Tahun 1974,
yaitu:Pertama, Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang
bersifat otonom atau administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah
diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II
sebagai Daerah Otonom, dan kemudian wilayah administrative berupa provinsi,
kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD Tingkat I maupun Tingkat II
dan kotamadya merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan Menteri
Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat
sangat eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan
langsung terhadap daerah. Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat
terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah.
Keenam, Keuangan Daerah sebagaimana umumnya dengan undangundang terdahulu,
diatur secara umum saja. Daerah juga mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat
berupa “Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang menandakan kemurahan hati
Pemerintahan di Jakarta.
Meskipun harus diakui bahwa UU
No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi
adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi
pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol dari hubungan
antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi
terhadap pemerintah pusat.
UU No 22 Tahun 1999
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak
menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 (dua) daerah otonomi, yaitu
Provinsi dan Kabupaten/ kota yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Marbun,
2010:102-103): Pertama, Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah
Provinsi, kabupaten, dan kota yang bersifat otonomi. Kedua, Daerah-daerah ini
masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU
Nomor 22 Tahun 1999). Ketiga, Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah
Administratif. Ada beberapa ciri khas yang menonjol dalam Undang-Undang ini (Syaukani, 2009:185-190), yaitu
Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua, Mendekatkan Pemerintah Dengan
Rakyat. Titik berat otonomi daerah difokuskan kepada Daerah Kabupatendan Kota,
bukan kepada Daerah Propinsi. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat,
Tidak Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam sistem ini, Pejabat
Pemerintahan daerah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari
pejabat yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, No Mandate Without
Funding. Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana
Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan “Penyerahan atau
pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan
kewenangan atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti
dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat {4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22
tahun 1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money follows funftion. Artinya Daerah diberi kewenangan yang
seluas-luasnya dan dengan kewenangan itu maka Daerah akan menggunakannya untuk
menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal
dan diterima oleh lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD.
Dari UU No 22 tahun 1999
terdapat kesan kuat bahwa pusat memberikan kewenangan pada daerah. Pada kondisi
tersbut mungkin terbaca bahwa pusat mulai mengakomodasi tuntutan daerah.
Pemberian kewenangan daerah dalam skema otonomi daerah, bisa dibaca sebagai
konsekuensi dari menurun daya kemampuan pusat untuk mengendalikan daerah,
sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memberikan kewenangan bagi daerah untuk
mengatur diri sendiri. Pada kontek lain munculnya berbagai konflik di daerah
terdapat kesan bahwa pusat seakan-akan hendak memindahkan pesoalan dalam ke masing-masing
wilayah
Perubahan pengelolaan pemerinah
daerah juga dilihat dalam era pasca-desentralisasi. Perubahan tersebut terlihat secara signifikan dalam keberadaan DPRD. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, DPRD diberi
peran dominan
vis-à-vis kepala daerah di pemerintahan
daerah. Tujuan utamanya
adalah untuk membawa pemerintahan
lokal yang demokratis di berbagai daerah melalui, antara lain, pemberdayaan
DPRD sebagai wakil masyarakat lokal dan sebagai
lembaga yang memiliki wewenang untuk
menahan kepala daerah bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Di deberapa daerah, terjadi
penguatan terhadap fungsi DPRD bahkan terlihat terjadi legislatif heavey dimana
kepala daerah “kewalahan” menghadapi DPRD, apalgi kalau kepala daerah berasal
dari partai berbeda dengan partai mayoritas di DPRD. Bahkan seolah-olah terjadi
devided government (pemerintahan
terbelah) akibat kepala daerah tersandra dengan DPRD.
UU
32 tahun 2004
Antara UU 32 tahun 2004 dengan UU No 22 tahunn 1999 sebenarnya tidak ada
perbedaan prinsipal dalam kebijakan pengelolaan pemerintahann daerah. Dalam
perspektif desentralisasi masih menerapkan prinsip residual power atau open arrangement
karena pusat masih mengurus 6 urusan yang bersifat konkruent. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab.
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan
daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah,
perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian
perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan
dalamkebijakan otonomi daerah.
Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa.
Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal
adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI
Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah ini
secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja
dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat diberikan
wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah yang
bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat
juga diatur dengan UU tersendiri.
Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan
kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya
berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.
Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut
“kelurahan”. Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama
Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan
tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang
berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
UU
No 23 Tahun 2014
Pada UU 23 tahun 2014, masih menerapakan
pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan
pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen
dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan
pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan
yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum
adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan. Selain itu dalam UU 23 Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya
dengan UU No 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan
daerah
Selain persoalan filosofis dalam urusan
pemerintah pusat dan daerah seperti diatas diatur dalam UU 23 Tahun 2014 juga
ada perbedaan yuridis. Perbedaan
yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak
diatur dalam UU sebelumnya. Perbedaan
secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur
tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah
diatur dalam UU no 22 tahun 2014 yang sudah dibatalkan dengan Perpu No 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dipisahkannya UU Pemda dengan UU Pilkada
dimaksudkan agar kedua UU tersebut dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan
isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan
perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.
Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme
pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi
Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit
antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan
dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih
langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang
juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang
sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang
mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang
berbeda.
Mengapa
Berubah
Setiap negara mengalami dinamika dalam perubahan
kebijakan, dan tentunya faktor perubahan berbeda antara satu negara dengan
negara lain. Namun tidak ada salahnya dalam melihat dinamika perubahan
pemerintaha daerah kita mengacu pada dinamika perubahan kebijakan pada beberapa
pendapat yang telah melakukan kajian dan analisis terhadap suatu negara dalam
melihat dinamika perubahan kebijakannya.
Olehnya untuk melihat dinamika perubahan pengelolaan
pemerintah daerah di Indonesia, seperti pendapat Hall sebagaimana di kutif oleh
Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa perubahan orde ketiga mungkin
unsur-unsur mencerminkan suatu proses yang berbeda, yang ditandai oleh
perubahan-perubahan radikal dalam lingkup ketentuan-ketentuan wacana kebijakan
yang berkaitan dengan pergeseran paradigma. Jika
perubahan-perubahan ode pertama dan kedua mempertahan kan
kontinuitas-kontinuitas luas yang lazimnya ditemukan dalam pola-pola kebijakan,
maka perubahan ‘orde ketiga’ seringkali merupakan suatu proses yang lebih disjunctive yang berkaitan dengan
diskontinuitas-diskontinuitas berkala dalam kebijakan. Masih mengutip dari Hall
bahwa implikasi dari analisis ini yaitu perubahan-perubahan orde pertama dan
orde kedua dalam kebijakan tidak secara otomatis mendatangkan perubahan- perubahan
orde ketiga. Degan perkataan lain, tidak boleh terperangkap anggapan bahwa
pergeseran paradigmatik melibatkan hanya suatu versi yang lebih intens tentang
pengambilan kebijakan normal yang didominasi oleh komunitas-komunitas dan
jaringan-jaringan kebijakan.
Perubahan-perubahan kebijakan ‘orde
ketiga’ mungkin akan mencakup lebih banyak dinamika tiga-dimensi dan spatial,
yang melibatkan sejangkauan variabel-variabel. Dinamika ini bisa kompleks,
namun unsur-unsur tertentu, dan antar-hubungan antara mereka, terlihat krusial. Variabel-variabel penentu utama dari
perubahan kebijakan ‘orde ketiga’, yakni: ide-ide, interests
(kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu
(individu-individu)
Empat I ini
kalau melihat dalam perubahan UU Pemerintahan daerah dapat kita lihat dalam
aspek Ide-ide Aspek ideologi, perubahan UU 5 tahun 1974 menjadi
UU Nomor 22 tahun 1999 disebabakan perubahan paradigma pengelolaan hubungan
pusat dan daerah. Perubahan tersebut adalah perubahan arah sentralisitik ke
arah desentralisitik. Sementara UU 32 Tahunn 2004 dan UU 22 Tahun 2014 menerapkan
pola ultra vire doctrine atau residual power hal ini terlihat betapa
banykanya urusan yang diberikan kepada daerah.
Selain aspek ide-ide, dinamika perubahan kebijakan
pemerintah daerah juga dipengaruhi aspek institusi. Institusi khususnya
lembaga-lembaga negara dilakukann restrukturisasi di pemerintah daerah agar
bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
Namun yang paling mejadi perhatian adalah soal
insterest, perubahan kebijakan pemerintah daerah adalah aspek kepentingan elit dan kepentingan daerah.
Elit khususnya intelektual kampus menganggap bahwa untuk mencapai tujuan negara
negara kesatuan Republik Indonesia harus dikelolah dengan memberikan
keleluasaan bagi daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya sesuai dengan
potensi dan kemampuan daerah melalui pemberian otonomi secara luas dan
bertanggung jawab.
Selain itu aspek lain dalam dinamika perubahan
kebijakan adalah individu, dengan reformasi yang terjadi dan perubahan lima
paket UU politik yang ada di Indonesia turut mempengaruhi perubahan prilaku (behavioralis) masyarakat Indonesia.
Perubahan lima paket UU politik juga semakin meningkatkan tingkat pendidikan
politik warga negara, sehingga kesadaran dan partisipasi politk warga negara
terhadap pengelolaan negara juga semakin meningkat.
Akan tetapi, ada satu unsur kunci lebih
lanjut dalam menentukan dinamika perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ — yaitu
tentang waktu. Meskipun ada pengaruh pervasifnya, namun waktu seringkali
dilupakan sebagai variabel vital, dan namun dalam studi longitudinal hal pentingnya
menjadi jelas. Perubahan pemerintahan
daerah di Indonesia kalau mengacu dimensi waktu, sebenarnya relatif tidak
panjang, apalagi kalau melihat perubahan pemerintahan daerah pasca reformasi,
hanya kurung satu dasawarsa perubahan pengelolaan pemerintahan daerah mengalami
berbagai perubahan.
Sementara Peter John melihat bahwa pengaruh
institusional, pilihan rasional, jaringan, pendekatan sosio-ekonomi dan ideasional
bahwa teori evolusi mungkin
berguna mengungkap proses mikro-tingkat
di tempat kerja, khususnya karena beberapa tiga kerangka
mengacu pada model dinamis dan metode, apa yang dikemukakan oleh
Peter John juga terlihat dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah di
Indonesia, bahwa pilihn rasional akan pemeberian urusan pemerintahan secara residual power atau open arrangement merupakan
pilihan rasional yang diambil oleh negara khususnya pemerintah pusat dalam
memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU
Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Pemikiran Stefaan Walgrave tentang
perubahan kebijakan juga dapt kita lihat dalam perubahan pemerintahan daerah,
Stefaan mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah
agenda-setting, kondisi penting bagi
perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan
daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi
tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian
pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah
yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001.
Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang
lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat
sentralisitik dianggap gagal dan
cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari
negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).
Kesimpulan
Dinamika perubahan kebijakan pemerintahan daerah di
Indoensia pasca reforrmasi mengalami dari UU 5 tahun 1975 menjadi UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004
dan UU 23 tahun 2014 dari aspek yuridis dan filosofis mengalami pergeseran dari
ultra vires doctrine (merinci satu
persatu urusan yang diserahkan ke daerah) menjadi open and arrangement atau residual
power (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan
sisa).
Faktor perubahan UU pemerintahan
daerah relevan dengan konsep yang dikemukakan oleh Geoffry Duedly dan Jeremy
Ricadson bahwa Four I (yakni ide-ide,
interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan
individu-individu (individu-individu) terjadi dalam pemerintahan daerah di Indonesia
Selain itu Peter
John juga melihat bahwa pilihan rasional juga menjadi bagian dalam perubahan
kebijakan pemerintah daerah khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi
secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999
maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Stefaan Walgrave
yang melihat bahwa bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah
agenda-setting, kondisi penting bagi
perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan
daerah tidak bisa dilepaskan agenda setting reformasi pasca pemerintahan
Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka
kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat
dan daerah yang melahirkan berbagai
perubahan UU Pemerintahan Daerah.
JPP-UGM (2010). Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan
Proyeksi.
Geoffry Duedly dan Jeremy
Ricadson, Simultaneously
published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY
10001
Wilson, Carter A. 2000. “Policy
Regimes and Policy Change.” Journal of Public Policy 20(3): 247-274.
Syaukani,
dkk (Syaukani, dkk, 2009:145- 150),
Mudiyati, Decentralization
and Democratization in the Post Suharto
Era: Lessons from Kota Cirebon, West Java, Indonesia, http://asaa.asn.au/ASAA2010/reviewed_papers/Decentralization_and_Democratization_in_the_Post.pdf
Geoffry Duedly dan Jeremy
Ricadson, Simultaneously
published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY
10001
0 Komentar:
Posting Komentar