Sabtu, 04 April 2015

Dinamika Perubahan UU Pemerintahan Daerah

Pendahuluan
Sejak reformasi sampai saat ini, sudah beberapa kali terjadi perubahan UU Pemerintah Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang pertama kali pasca reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun 1974, kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan perubahan menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi kebijakan pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir adalah UU 23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2 Tahun 2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Berbagai dinamika dalam  perubahan kebijakan pemerintahan daerah tersebut mulai dari arah sentralisitik sampai desentralistik. Sebagai negara kesatuan Indonesia  tentu menerapkan pembagian urusan pusat dan daerah dengan tetap mengacu pada pola desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind.  

Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah di Indonesia pada dasarnya mengacu pada ultra vires doctrine  (merinci satu persatu urusan pemerintahan yang diberikan kepada daerah) dan risidual power atau open end arrengement (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa)[1]. Ultra vires doctrine lebih terasa pada pola sentralisitik sementara residual power lebih mengarah ke desentralistik. Bahkan ada menganggap bahwa residual power sebenarnya merupakan pola hubungan pemerinta pusat dan daerah yang biasa diterapkan dalam konsep negara federal. Sementara dalam negara kesatuan kekuasaan sisa idealnya berada ditangan pusat.

Pola hubugan  pusat dan daerah sejak pemberlakuan UU Nomor 5 tahun 1974 sampai UU Nomor 23 Tahun 2014 mengalami dinamika perubahan. UU Nomor 5 tahun 1974 lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra  vires doctrine karena kewenangan yang diberikan kepada daerah dirinci satu persatu. Sementara UU Nomor 22 Tahun 1999, UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 kewenangan yang diberikan bersifat residual power atau open and arrengmet atau general competence[2] karena semua kewenangan diberikan kepada daerah kecuali  urusan yang ditangani oleh pemerintah pusat, yakni moneter dan fiskal nasional, pertahanam dan keamanan, urusan luar negeri, peradilan, dan agama

Selain itu sistem pembagian kekuasaan yang didesentralisasikan ke daerah di Indonesia juga menerapkan desentralisasi a simteris dan desentraisasi simetris[3]. Desentralisasi a simetris terasa dalam UU No 22 Tahun 1999, dimana ada pemberian otonomi khusus bagi beberapa daerah (Aceh, Jogya dan Papua). Sementara dalam UU No 5 tahun 1974 hanya desentralisasi simetris (biasa)

Perubahan Kebijakan dalam berbagai Perspektif
Perubahan kebijakan dalam  hubungan pusat dan daerah tidak bisa dilepaskan dari konteks, format dan ideologi politik penguasa. Ketika penguasa baru saja tampil dan menyusun kekuatan, maka dikembangkan kebijakan yang agak terbuka. Namun ketika kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka kebijakan bisa dirubah dengan tertutup, otoritarisme atau malah totaliterisme[4].

Hal ini sejalan yang dikemukakan Stefaan Walgrave bawha perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik[5]. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan  cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).    

Selain persoalan agenda setting  seperti dikemukan diatas, Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson dalam melihat perubahan kebijakan di Inggris antara tahun 1945-1999  melihat lebih lengkap menguraikan variabel perubahan kebijakan dalam sebuah  negara.  Bahwa ada empat variabel utama dalam perubahan kebijakan yang dikenal dengan konsep 4 I, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu)[6]
Empat variabel ini dapat membantu melihat perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah yang terjadi di Indonesia. Ide-ide untuk lebih memberikan kewenangan lebih luas muncul pasca tumbangnya rezim Soeharto yangg dianggap gagal membawa Indonesia lebih demokratis. Bahkan munculnya gerakan separatis seperti Papua Merdeka, Aceh Merdeka, Republik Maluku Serikat, akibat kekecewaan daerah terhadap pusat.  Varibel interest (kepentinga-kepentinga) juga terasa dalam perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah. Adanya interest masing-masing daerah serta problem-problem kedaerahan yang dialami masing-masing provinsi membawa pola hubungan pusat dan daerah hampir terjadi ‘lost control’ dengan meneriakkan federalisme. Sementara institusions (lembaga-lembaga) khususnya pemerintahan dilakukan restrukturisasi agar bisa bekerja maksimal. khususindividu-individu khususnya elit mulai lebih banyak bersuara untuk mendesak agar pengelolaan pemerintahan daerah untuk ditinjau sebelum isu-isu federalisme tidak semakin luas diteriakkan di daerah.


Pokok Perubahan UU Pemerintahan Daerah
UU No 5 Tahun 1974
Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 lebih condong kearah sentralistik. Beberapa karateristik yang menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5 Tahun 1974, yaitu:Pertama, Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II sebagai Daerah Otonom, dan kemudian wilayah administrative berupa provinsi, kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD Tingkat I maupun Tingkat II dan kotamadya merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap daerah. Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah. Keenam, Keuangan Daerah sebagaimana umumnya dengan undangundang terdahulu, diatur secara umum saja. Daerah juga mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat berupa “Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang menandakan kemurahan hati Pemerintahan di Jakarta. [9]
Meskipun harus diakui bahwa UU No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.

UU No 22 Tahun 1999
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 (dua) daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/ kota yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Marbun, 2010:102-103): Pertama, Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, kabupaten, dan kota yang bersifat otonomi. Kedua, Daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999). Ketiga, Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Ada beberapa ciri khas yang menonjol dalam Undang-Undang ini (Syaukani, 2009:185-190), yaitu Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua, Mendekatkan Pemerintah Dengan Rakyat. Titik berat otonomi daerah difokuskan kepada Daerah Kabupatendan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat, Tidak Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam sistem ini, Pejabat Pemerintahan daerah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, No Mandate Without Funding. Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan “Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat {4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22 tahun 1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money follows funftion. Artinya Daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya dan dengan kewenangan itu maka Daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD.

Dari UU No 22 tahun 1999 terdapat kesan kuat bahwa pusat memberikan kewenangan pada daerah. Pada kondisi tersbut mungkin terbaca bahwa pusat mulai mengakomodasi tuntutan daerah. Pemberian kewenangan daerah dalam skema otonomi daerah, bisa dibaca sebagai konsekuensi dari menurun daya kemampuan pusat untuk mengendalikan daerah, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur diri sendiri. Pada kontek lain munculnya berbagai konflik di daerah terdapat kesan bahwa pusat seakan-akan hendak memindahkan pesoalan dalam ke masing-masing wilayah

Perubahan pengelolaan pemerinah daerah juga dilihat dalam era pasca-desentralisasi. Perubahan tersebut terlihat secara signifikan dalam keberadaan DPRD. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,  DPRD diberi  peran dominan vis-à-vis kepala daerah  di pemerintahan daerah. Tujuan  utamanya adalah untuk membawa pemerintahan lokal yang demokratis di berbagai daerah melalui, antara lain, pemberdayaan DPRD sebagai wakil masyarakat lokal dan sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk menahan kepala daerah bertanggung jawab atas kinerja mereka[10].
Di deberapa daerah, terjadi penguatan terhadap fungsi DPRD bahkan terlihat terjadi legislatif heavey dimana kepala daerah “kewalahan” menghadapi DPRD, apalgi kalau kepala daerah berasal dari partai berbeda dengan partai mayoritas di DPRD. Bahkan seolah-olah terjadi devided government (pemerintahan terbelah) akibat kepala daerah tersandra dengan DPRD.

UU 32 tahun 2004
Antara UU 32 tahun 2004 dengan UU  No 22 tahunn 1999 sebenarnya tidak ada perbedaan prinsipal dalam kebijakan pengelolaan pemerintahann daerah. Dalam perspektif desentralisasi masih menerapkan prinsip residual power atau open arrangement karena pusat masih mengurus 6 urusan yang bersifat konkruent.  Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan  tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.

Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah  ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah  yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.

Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu  kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.

Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.

UU No 23 Tahun 2014
Pada UU 23 tahun 2014, masih menerapakan pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan,  keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.  Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam UU 23 Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya dengan UU No 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah

Selain persoalan filosofis dalam urusan pemerintah pusat dan daerah seperti diatas diatur dalam UU 23 Tahun 2014 juga ada perbedaan yuridis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya.  Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014 yang sudah dibatalkan dengan Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dipisahkannya UU Pemda dengan UU Pilkada dimaksudkan agar kedua UU tersebut dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.

Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang berbeda.


Mengapa Berubah
Setiap negara mengalami dinamika dalam perubahan kebijakan, dan tentunya faktor perubahan berbeda antara satu negara dengan negara lain. Namun tidak ada salahnya dalam melihat dinamika perubahan pemerintaha daerah kita mengacu pada dinamika perubahan kebijakan pada beberapa pendapat yang telah melakukan kajian dan analisis terhadap suatu negara dalam melihat dinamika perubahan kebijakannya.
Olehnya untuk melihat dinamika perubahan pengelolaan pemerintah daerah di Indonesia, seperti pendapat Hall sebagaimana di kutif oleh Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa perubahan orde ketiga mungkin unsur-unsur mencerminkan suatu proses yang berbeda, yang ditandai oleh perubahan-perubahan radikal dalam lingkup ketentuan-ketentuan wacana kebijakan yang berkaitan dengan pergeseran paradigma. Jika perubahan-perubahan ode pertama dan kedua mempertahan kan kontinuitas-kontinuitas luas yang lazimnya ditemukan dalam pola-pola kebijakan, maka perubahan ‘orde ketiga’ seringkali merupakan suatu proses yang lebih disjunctive yang berkaitan dengan diskontinuitas-diskontinuitas berkala dalam kebijakan. Masih mengutip dari Hall bahwa implikasi dari analisis ini yaitu perubahan-perubahan orde pertama dan orde kedua dalam kebijakan tidak secara otomatis mendatangkan perubahan- perubahan orde ketiga. Degan perkataan lain, tidak boleh terperangkap anggapan bahwa pergeseran paradigmatik melibatkan hanya suatu versi yang lebih intens tentang pengambilan kebijakan normal yang didominasi oleh komunitas-komunitas dan jaringan-jaringan kebijakan.
Perubahan-perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ mungkin akan mencakup lebih banyak dinamika tiga-dimensi dan spatial, yang melibatkan sejangkauan variabel-variabel. Dinamika ini bisa kompleks, namun unsur-unsur tertentu, dan antar-hubungan antara mereka, terlihat krusial.  Variabel-variabel penentu utama dari perubahan kebijakan ‘orde ketiga’, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu)[11]
Empat I ini kalau melihat dalam perubahan UU Pemerintahan daerah dapat kita lihat dalam aspek Ide-ide Aspek ideologi, perubahan UU 5 tahun 1974 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999 disebabakan perubahan paradigma pengelolaan hubungan pusat dan daerah. Perubahan tersebut adalah perubahan arah sentralisitik ke arah desentralisitik. Sementara UU 32 Tahunn 2004 dan UU 22 Tahun 2014 menerapkan pola ultra vire doctrine atau residual power hal ini terlihat betapa banykanya urusan yang diberikan kepada daerah.    

Selain aspek ide-ide, dinamika perubahan kebijakan pemerintah daerah juga dipengaruhi aspek institusi. Institusi khususnya lembaga-lembaga negara dilakukann restrukturisasi di pemerintah daerah agar bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
Namun yang paling mejadi perhatian adalah soal insterest, perubahan kebijakan pemerintah daerah  adalah aspek kepentingan elit dan kepentingan daerah. Elit khususnya intelektual kampus menganggap bahwa untuk mencapai tujuan negara negara kesatuan Republik Indonesia harus dikelolah dengan memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya sesuai dengan potensi dan kemampuan daerah melalui pemberian otonomi secara luas dan bertanggung jawab.

Selain itu aspek lain dalam dinamika perubahan kebijakan adalah individu, dengan reformasi yang terjadi dan perubahan lima paket UU politik yang ada di Indonesia turut mempengaruhi perubahan prilaku (behavioralis) masyarakat Indonesia. Perubahan lima paket UU politik juga semakin meningkatkan tingkat pendidikan politik warga negara, sehingga kesadaran dan partisipasi politk warga negara terhadap pengelolaan negara juga semakin meningkat.

Akan tetapi, ada satu unsur kunci lebih lanjut dalam menentukan dinamika perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ — yaitu tentang waktu. Meskipun ada pengaruh pervasifnya, namun waktu seringkali dilupakan sebagai variabel vital, dan namun dalam studi longitudinal hal pentingnya menjadi jelas[12]. Perubahan pemerintahan daerah di Indonesia kalau mengacu dimensi waktu, sebenarnya relatif tidak panjang, apalagi kalau melihat perubahan pemerintahan daerah pasca reformasi, hanya kurung satu dasawarsa perubahan pengelolaan pemerintahan daerah mengalami berbagai perubahan.
Sementara Peter John melihat bahwa pengaruh institusional, pilihan rasional, jaringan, pendekatan sosio-ekonomi dan ideasional bahwa teori evolusi mungkin berguna mengungkap proses mikro-tingkat di tempat kerja, khususnya karena beberapa tiga kerangka mengacu pada model dinamis dan metode, apa yang dikemukakan oleh Peter John juga terlihat dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, bahwa pilihn rasional akan pemeberian urusan pemerintahan secara residual power atau open arrangement merupakan pilihan rasional yang diambil oleh negara khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Pemikiran Stefaan Walgrave tentang perubahan kebijakan juga dapt kita lihat dalam perubahan pemerintahan daerah, Stefaan mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan  cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).    

Kesimpulan
Dinamika perubahan kebijakan pemerintahan daerah di Indoensia pasca reforrmasi mengalami dari UU 5 tahun 1975  menjadi UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 dari aspek yuridis dan filosofis mengalami pergeseran dari ultra vires doctrine (merinci satu persatu urusan yang diserahkan ke daerah) menjadi open and arrangement atau residual power (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa).
Faktor perubahan UU pemerintahan daerah relevan dengan konsep yang dikemukakan oleh  Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa Four I (yakni  ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu) terjadi dalam pemerintahan daerah di Indonesia
Selain itu Peter John juga melihat bahwa pilihan rasional juga menjadi bagian dalam perubahan kebijakan pemerintah daerah khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Stefaan Walgrave  yang melihat bahwa bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda setting reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan  berbagai perubahan UU Pemerintahan Daerah.





[1] Hanif,  Teori dan Parktek Pemerintahan, Grafindo, Jogyakarta, 2003
[2] Idem
[3] JPP-UGM (2010). Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi.
Yogyakarta, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
[4] Relasi hubunga pusat dan daerah, Lapera, 2002 Jogyakarta
[5] Stevaan Walgrave, Governance: an International Journal of Policy, Administration, and Institutions, Vol 21, No 3 july 2008 (pp.365-395)
[6] Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson, Simultaneously published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY 10001
[7] Peter John, Is there life after policy stremas, advocacy  caolitions, and punctuations : using evolutionary theory to explain policy change, The Policy Studies Jurnal, Published by blackwell publishing. Inc..350
[8] Wilson, Carter A. 2000. “Policy Regimes and Policy Change.” Journal of Public Policy 20(3): 247-274.
[9] Syaukani, dkk (Syaukani, dkk, 2009:145- 150),
[10] Mudiyati, Decentralization and Democratization in  the Post Suharto Era: Lessons from Kota Cirebon, West Java, Indonesia, http://asaa.asn.au/ASAA2010/reviewed_papers/Decentralization_and_Democratization_in_the_Post.pdf
[11] Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson, Simultaneously published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY 10001

[12] idem

0 Komentar: