Kamis, 09 April 2015

Revolusi Mental Prilaku Birokrasi Indonesia

A.    Pendahuluan
Revolusi mental menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Selain menjadi jualan kampanye Jokowi-Jusuf Kalla yang mengantarkan pasangan ini meraih kemenangan juga sepertinya menjadi keharusan dalam memotret prilaku aparatur birokrasi (pegawai negeri sipil) khususnya dalam melakukan tugas utamanya dalam melakukakan pelayanan publik. 
Tidak bisa dipungkiri wajah birokrasi Indonesia ditampilkan dengan pembacaan yang kurang begitu menarik bagi masyarakat, kesan bertele-tele, lamban dalam memberika layanan sudah menjadi bahasa lumrah ketika masyarakat diminta opininya terhadap prilaku birokrasi, bahwa meski dalam beberapa kesempatan, pejabat publik menyerukan perlunya peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik, namun dalam realitasnya, seruan tersebut masih sekedar jargon (Rosyadi, 2010).
Banyak faktor penyebab pelayanan publik di negara ini menjadi lemah disebabkan rendahnya diskresi birokrasi terutama pada level pelaksana bawah (street-level bureaucracy) sehingga pelayanan yang dihasilkan kurang fleksibel, dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara riil. Lipsky (1980) menjelaskan bahwa birokrasi bawahan mempraktekkan pemberian diskresi atas dispensasi manfaat atau alokasi sanksi. Terjadi konflik antara pembuat kebijakan dan birokrasi bawahan sebagai pelaksana kebijakan. Di satu sisi para legislator dan pembuat kebijakan lainnya berupaya menciptakan tujuan-tujuan ideal ke dalam peraturan. Di sisi lainnya birokrasi bawahan berjalan dengan kepentingannya sendiri untuk memanfaatkan akses langsungnya terhadap klien. Maka diskresi peraturan yang dipraktekkan birokrat bawahan menjadi lazim.
Proses rekrtuitmen jabatan struktural juga ditengarai sebagai penyebab birokrat tidak berjalan maksimal dalam memberikan layanan publik. Rekriutmen tidak berdasarkan merit system tetapi berdasarkan atas spoil system yakni berdasarkan atas kedekatan-kedekatan tertentu atau karena like and dislike bukan karena kapasitas dan kapabilitas seseorang.
B.    Potret Prilaku Birokrasi dalam Pelayanan Publik
Prilaku birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien.
Bahkan pandangan para pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.
Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.
Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar.
Selain fenomena di atas, ada juga yang menarik dari prilaku birokrasi khususnya ditampilkan dalam kinerja PNS, yaitu persoalan motivasi, kinerja PNS dalam keseharian pekerjaannya, mekanisme kerja dan beban kerja. Di satu sisi, PNS dihadapkan pada mekanisme kerja dan beban kerja yang rutin, di sisi yang lain PNS menghadapi dinamika persoalan masyarakat dan tuntutan pelayanan yang tidak mengenal batas waktu. Selanjutnya yang menarik adalah PNS diharapkan menjadi teladan masyarakat untuk mentaati berbagai aturan maupun kebijakan pemerintah.
Dalam posisi ini PNS merupakan ujung tombak proses promosi birokrasi, artinya: sebaiknya otoritas dan kewenangan PNS memang digunakan untuk melayani masyarakat, sehingga konsep pelayanan masyarakat menjadi bagian integral sosok PNS. Pada sisi yang lain, muncul beban panutan yang berimplikasi pada pemanfaatan kekuasaan sebagai aparatur birokrasi. Beban yang dimaksud adalah status aparatur terbawa sampai ruang sosial, hal inilah yang menjadikan PNS lebih suka dihormati dari pada menghormati.
Di samping itu, ada sisi paradoks yang meliputi persoalan kinerja birokrasi, dua hal tersebut adalah berkuasa atau melayani. Kedua hal tersebut mengisyaratkan kompleksitas persoalan yang tak kunjung usai. Setidaknya ada tiga identifikasi persoalan (Albrow M., (1996). Pertama, Tidak berjalannya reward and punishment hal ini dibuktikan dengan banyaknya PNS yang dihukum karena perbuatnnya tetapi hukuman tersebut tidak menjadikan PNS jera, justru pelanggaran demi pelanggaran muncul. Artinya, konsep insentif yang ditawarkan hanya mendorong persoalan baru karena disinsentif tidak diberlakukan secara tegas. Kedua, Kegagalan menjadi Role model (tokoh panutan) dalam perspektif sosiologi diartikan ke dalam tiga aspek codes (alasan bertindak) PNS gagal bertindak karena tidak cukup mempunyai alasan yang jelas, aspek context (ruang dan waktu) PNS gagal memahami ruang dan waktu dan Institution (representasi organisasi sosial) PNS gagal mewakili organisasi sosialnya. Ketiga, Politisasi PNS, bukan lagi rahasia ketika PNS diidentikan dengan parpol yang berkuasa karena selama ini PNS selalu dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh parpol.
C.    Revolusi Mental Birokrasi dalam Meningkatkan Pelayanan Publik

Salah satu faktor utama yang berperan dalam mewujudkan keberhasilan pelayanan publik adalah birokrasi. Birokrasi memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik serta dalam evaluasi kinerjanya. Revousli mental menurut Jokowi dalam kegiatan kampanye adalah membangun jiwa, karakter, sikap, prilaku dan budi pekerti masyarakat Indonesia atau pembangunan karakter dan mental serta prilaku manusia Indonesia(kompas.com). Sekaitan hal tersebut revolusi mental birokrasi adalah membangun  jiwa, mental, prilaku dan karakter birokrasi dalam rangka  penataan ulang secara bertahap dan sistematis dengan correct dan perfect atas fungsi utama pemerintah demi kelancaran pendayagunaan aparatur negara yang kualitasnya semakin meningkat, meliputi kelembagaan atau institusi yang efisien dengan tata laksana yang jelas (transparan), diisi SDM yang profesional, mempunyai akuntabilitas tinggi kepada masyarakat serta menghasilkan pelayan publik yang prima.
Untuk menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif serta responsif dalam rangka mendukung tata kepemerintahan demokratis dan ekonomi nasional, pemerintah seharusnya menerapkan strategi kelembagaan reformasi birokrasi dengan tujuan memantapkan kelembagaan reformasi birokrasi, meningkatkan pelayanan publik dan membangun kapasitas aparatur negara untuk menciptakan organisasi dan SDM aparatur yang profesional, apolilitik, netral, transparan dan akuntabel. Sebagai penegasan reformasi birokrasi, maka dalam pendayagunaan aparatur negara, implementasi kebijakan dan programnya harus terus menerus selalu menunjang terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (Tamin, 2004).
Untuk itulah salah satu faktor penting dalam revolusi mental birokrasi adalah pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur yang dalam hal ini melakukan pengangkatan dan penempatan pegawai dalam jabatan baik struktural maupun fungsional. Langkah yang dilakukan adalah melakukan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural dengan baik sehingga menghasilkan penyelenggaraan organisasi yang sehat, namun sebaliknya kesalahan dalam proses pengangkatan dalam jabatan struktural akan memberikan dampak yang tidak sehat antara lain tidak tercapainya tujuan organisasi, hubungan kerja yang tidak harmonis, cara kerja yang tidak efektif dan efisien, serta penyimpangan prosedur kerja. Oleh karena itu kegiatan pengangkatan dalam jabatan struktural haruslah mengambil semangat “The right man on the right place”.
Salah satu kegiatan yang paling penting dalam manajemen sumber daya manusia adalah kegiatan untuk menempatkan personil dalam organisasi yang tepat, karena untuk mencapai tujuan organisasi diperlukan personil yang cakap, terampil dan berkualitas serta kuantitasnya yang sesuai dengan kebutuhan. Perekrutan merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh sumber daya manusia dari berbagai sumber sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan sehingga mampu mencapai visi dan misi organisasi. Dubois dalam Suwanto dan Priansa (2011) menyatakan bahwa rekrutmen adalah proses menarik sebanyak mungkin kualifikasi pelamar untuk lowongan yang ada dan bukan antisipasi. Ini merupakan pencarian bakat, pengejaran kelompok terbaik pelamar untuk posisi yang tersedia.
SDM yang ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi  pemerintah), penerapan sistem merit dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan database kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang layak dan adil, menuju manajemen modern.
Dengan demikian akan memunculkan pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan berdampak pada sistem kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia. Tantangan yang dihadapi di bidang kelembagaan, adalah menata ulang struktur organisasi dengan prinsip rasional dan realistik (sesuai kebutuhan) dan perangkat kelembagaan yang lebih efektif serta efisien yang berorientasi pada peningkatan pelayanan masyarakat. Hal ini menuntut penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan yang dapat mendukung terwujudnya pelayanan prima. Di bidang ketatalaksanaan, tantangan yang dihadapi adalah kualitas dan transparansi pelayanan masyarakat yang kurang adaptif terhadap perubahan-perubahan dan tuntutan-tuntutan masyarakat, oleh karena itu diperlukan penyempurnaan sistem ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan di daerah. Bidang sumber daya manusia aparatur menghadapi tantangan untuk mengembangkan sistem perencanaan Sumber Daya Manusia aparatur pemerintah sesuai hasil penataan struktur dan perangkat kelembagaan daerah. Konsekuensinya adalah pembentukan disiplin, etika dan moral yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan tuntutan terhadap perwujudan aparatur pemerintah yang bebas Korupsi Kolusi. Nepotisme (KKN) dan lebih profesional.
Selain itu rekritumen personal yang akan mengisi lowongan dilingkup pegawai negeri (PNS) yang dilakukan penataan pasca moratorium penerimaan CPNS, diharapkan melahirkan CPNS yang profesional dengan mental memberi pelayanan publik yang berkualitas. Berlakukanya UU No 5 tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara (ASN) diharapkan juga bisa mengubah mindset dan prilaku pegawai apartur sipil negara yang terdiri dari PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perintah Kerja.  
Hal yang tidak kalah penting dalam revolusi mental birokrasi adalah adalah rektruimetn pejabat struktural harus betul-betul mencerminkan pola rekritumen denga prinsip merit system yakni merekrut pejabat struktural atas dasar kapasitas dan kapabilitas seseorang, bukan karena kedekatan-kedekatan tertentu dengan pejabat atau sistem like and dislike sperti pola rekruitment dengan spoil system. Rekruitmen atas kehendak dari shadow government (pemerintah bayangan) atau local strong man yang biasa berasal dari tim sukses atau partai pengusung kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) saat pemilihan sudah harus direvolusi. 
Best practise revolusi mental dalam rekrtutmen pejabat struktural adalah model lelang jabatan seperti yang diterapkan di DKI. Dengan memberikan kesempatan kepada pegawai negeri yang memenuhi syarat kepangakatan untuk diuji kelayakan dan kepatutatannya untuk menduduki jabatan yang tersedia adalah model yang bisa ditiru oleh seluruh pejabat di daerah dalam rangka melakukan revolusi mental sebagai upaya optimal dalam meningkatakan pelayanan. Karena pejabat yang terpilih melalui lelang jabatan akan merasa memiliki amanah yang lebih tinggi dan bertanggungjawab kepada publik atas jabatan yang diberikan sehingga pelayanan publik akan diterapkan dengan optimal.



D.    Kesimpulan
Revolusi mental birokrasi adalah pembenahan sistem dan mental aparatur birokrat dalam upaya meningkatakan pelayanan publik. Revolusi mental birokrasi adalah membangun  jiwa, mental, prilaku dan karakter birokrasi dalam rangka  penataan ulang secara bertahap dan sistematis dengan correct dan perfect atas fungsi utama pemerintah demi kelancaran pendayagunaan aparatur negara yang kualitasnya semakin meningkat, meliputi kelembagaan atau institusi yang efisien dengan tata laksana yang jelas (transparan), diisi SDM yang profesional, mempunyai akuntabilitas tinggi kepada masyarakat serta menghasilkan pelayan publik yang prima.
Point utama dalam revolusi mental birokrasi adalah adalah rektruimetn pejabat struktural yang mencerminkan pola rekritumen denga prinsip merit system yakni merekrut pejabat struktural atas dasar kapasitas dan kapabilitas seseorang, bukan karena kedekatan-kedekatan tertentu dengan pejabat atau sistem like and dislike sperti pola rekruitment dengan spoil system. Rekruitmen atas kehendak dari shadow government (pemerintah bayangan) atau local strong man yang biasa berasal dari tim sukses atau partai pengusung kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) saat pemilihan sudah harus direvolusi.
Lelang jabatan sebagai bagia best practise dalam revolusi mental birokrasi dalam rekruitment pejabat struktural merupakan salah satu upaya optimal dalam rangka revolusi mental birokrasi dalam kerangka optimalisasi pelayanan publik.





Daftar Pustaka


Buku

Albrow M., (1996), Birokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta

Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rosyadi, Slamet. 2010. Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Gava Media, Yogyakarta.

Tamin, Feisal. 2004. Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara. Blantika, Jakarta.

Sumber Lain

Argama R., (2007), Reformasi Birokrasi dalam Perkpektif Adminitrasi Pembangunan (Makalah), Universitas Indonesia, Depok.

UU No 5 Tahun 2014 tentang Aapartus Sipil Negara

http://kompas.com/berita/kampanyepilpres. di unduh tanggal 25 desember 2014

-----------------
Foto :rekangambar.com

0 Komentar: