Revolusi mental menjadi isu hangat akhir-akhir ini.
Selain menjadi jualan kampanye Jokowi-Jusuf Kalla yang mengantarkan pasangan
ini meraih kemenangan juga sepertinya menjadi keharusan dalam memotret prilaku
aparatur birokrasi (pegawai negeri sipil) khususnya dalam melakukan tugas
utamanya dalam melakukakan pelayanan publik.
Tidak bisa dipungkiri wajah birokrasi Indonesia
ditampilkan dengan pembacaan yang kurang begitu menarik bagi masyarakat, kesan
bertele-tele, lamban dalam memberika layanan sudah menjadi bahasa lumrah ketika
masyarakat diminta opininya terhadap prilaku birokrasi, bahwa meski dalam
beberapa kesempatan, pejabat publik menyerukan perlunya peningkatan
aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik, namun dalam realitasnya,
seruan tersebut masih sekedar jargon (Rosyadi, 2010).
Banyak faktor penyebab pelayanan publik di negara ini
menjadi lemah disebabkan rendahnya diskresi birokrasi terutama pada level
pelaksana bawah (street-level bureaucracy) sehingga pelayanan yang
dihasilkan kurang fleksibel, dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara
riil. Lipsky (1980) menjelaskan bahwa birokrasi bawahan mempraktekkan pemberian
diskresi atas dispensasi manfaat atau alokasi sanksi. Terjadi konflik antara
pembuat kebijakan dan birokrasi bawahan sebagai pelaksana kebijakan. Di satu
sisi para legislator dan pembuat kebijakan lainnya berupaya menciptakan
tujuan-tujuan ideal ke dalam peraturan. Di sisi lainnya birokrasi bawahan
berjalan dengan kepentingannya sendiri untuk memanfaatkan akses langsungnya
terhadap klien. Maka diskresi peraturan yang dipraktekkan birokrat bawahan
menjadi lazim.
Proses rekrtuitmen jabatan struktural juga ditengarai
sebagai penyebab birokrat tidak berjalan maksimal dalam memberikan layanan
publik. Rekriutmen tidak berdasarkan merit
system tetapi berdasarkan atas spoil
system yakni berdasarkan atas kedekatan-kedekatan tertentu atau karena like and dislike bukan karena kapasitas dan kapabilitas seseorang.
B. Potret
Prilaku Birokrasi dalam Pelayanan Publik
Prilaku birokrasi di Indonesia, baik
di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat
sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas
yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara
tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban,
berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur
dibandingkan substansi, dan tidak efisien.
Bahkan pandangan para pengamat lebih
jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa
birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi
akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang
politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di
Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.
Sementara Hans Dieter Evers melihat
bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson
dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses
pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara
tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai
proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan
ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui
paksaan.
Dengan demikian birokrasi di
Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya
inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati.
Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan
pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan
membesar.
Selain fenomena di atas,
ada juga yang menarik dari prilaku birokrasi khususnya ditampilkan dalam kinerja
PNS, yaitu persoalan motivasi, kinerja PNS dalam keseharian pekerjaannya,
mekanisme kerja dan beban kerja. Di satu sisi, PNS dihadapkan pada mekanisme
kerja dan beban kerja yang rutin, di sisi yang lain PNS menghadapi dinamika
persoalan masyarakat dan tuntutan pelayanan yang tidak mengenal batas waktu.
Selanjutnya yang menarik adalah PNS diharapkan menjadi teladan masyarakat untuk
mentaati berbagai aturan maupun kebijakan pemerintah.
Dalam posisi ini PNS
merupakan ujung tombak proses promosi birokrasi, artinya: sebaiknya otoritas
dan kewenangan PNS memang digunakan untuk melayani masyarakat, sehingga konsep
pelayanan masyarakat menjadi bagian integral sosok PNS. Pada sisi yang lain,
muncul beban panutan yang berimplikasi pada pemanfaatan kekuasaan sebagai
aparatur birokrasi. Beban yang dimaksud adalah status aparatur terbawa sampai
ruang sosial, hal inilah yang menjadikan PNS lebih suka dihormati dari pada
menghormati.
Di samping itu, ada sisi paradoks
yang meliputi persoalan kinerja birokrasi, dua hal tersebut adalah berkuasa
atau melayani. Kedua hal tersebut mengisyaratkan kompleksitas persoalan yang
tak kunjung usai. Setidaknya ada tiga identifikasi persoalan (Albrow M., (1996).
Pertama, Tidak berjalannya reward and punishment hal ini
dibuktikan dengan banyaknya PNS yang dihukum karena perbuatnnya tetapi hukuman
tersebut tidak menjadikan PNS jera, justru pelanggaran demi pelanggaran muncul.
Artinya, konsep insentif yang ditawarkan hanya mendorong persoalan baru karena
disinsentif tidak diberlakukan secara tegas. Kedua, Kegagalan
menjadi Role model (tokoh panutan) dalam perspektif sosiologi diartikan
ke dalam tiga aspek codes (alasan bertindak) PNS gagal bertindak karena
tidak cukup mempunyai alasan yang jelas, aspek context (ruang dan waktu)
PNS gagal memahami ruang dan waktu dan Institution (representasi
organisasi sosial) PNS gagal mewakili organisasi sosialnya. Ketiga, Politisasi
PNS, bukan lagi rahasia ketika PNS diidentikan dengan parpol yang berkuasa
karena selama ini PNS selalu dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh
parpol.
C.
Revolusi Mental Birokrasi dalam Meningkatkan Pelayanan
Publik
Salah satu faktor utama yang berperan dalam mewujudkan
keberhasilan pelayanan publik adalah birokrasi. Birokrasi memegang
peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan
publik serta dalam evaluasi kinerjanya. Revousli mental menurut Jokowi dalam
kegiatan kampanye adalah membangun jiwa, karakter, sikap, prilaku dan budi
pekerti masyarakat Indonesia atau pembangunan karakter dan mental serta prilaku
manusia Indonesia(kompas.com). Sekaitan hal tersebut revolusi mental birokrasi adalah
membangun jiwa, mental, prilaku dan
karakter birokrasi dalam rangka penataan
ulang secara bertahap dan sistematis dengan correct dan perfect atas
fungsi utama pemerintah demi kelancaran pendayagunaan aparatur negara yang
kualitasnya semakin meningkat, meliputi kelembagaan atau institusi yang efisien
dengan tata laksana yang jelas (transparan), diisi SDM yang profesional,
mempunyai akuntabilitas tinggi kepada masyarakat serta menghasilkan pelayan publik
yang prima.
Untuk menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif
serta responsif dalam rangka mendukung tata kepemerintahan demokratis dan
ekonomi nasional, pemerintah seharusnya menerapkan strategi kelembagaan
reformasi birokrasi dengan tujuan memantapkan kelembagaan reformasi birokrasi,
meningkatkan pelayanan publik dan membangun kapasitas aparatur negara untuk
menciptakan organisasi dan SDM aparatur yang profesional, apolilitik, netral,
transparan dan akuntabel. Sebagai penegasan reformasi birokrasi, maka dalam
pendayagunaan aparatur negara, implementasi kebijakan dan programnya harus
terus menerus selalu menunjang terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik
(Tamin, 2004).
Untuk itulah salah satu faktor penting dalam revolusi
mental birokrasi adalah pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur yang dalam hal
ini melakukan pengangkatan dan penempatan pegawai dalam jabatan baik struktural
maupun fungsional. Langkah yang dilakukan adalah melakukan pengangkatan Pegawai
Negeri Sipil dalam jabatan struktural dengan baik sehingga menghasilkan
penyelenggaraan organisasi yang sehat, namun sebaliknya kesalahan dalam proses
pengangkatan dalam jabatan struktural akan memberikan dampak yang tidak sehat
antara lain tidak tercapainya tujuan organisasi, hubungan kerja yang tidak
harmonis, cara kerja yang tidak efektif dan efisien, serta penyimpangan
prosedur kerja. Oleh karena itu kegiatan pengangkatan dalam jabatan struktural
haruslah mengambil semangat “The right man on the right place”.
Salah satu kegiatan yang paling penting dalam manajemen
sumber daya manusia adalah kegiatan untuk menempatkan personil dalam organisasi
yang tepat, karena untuk mencapai tujuan organisasi diperlukan personil yang
cakap, terampil dan berkualitas serta kuantitasnya yang sesuai dengan
kebutuhan. Perekrutan merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh sumber daya
manusia dari berbagai sumber sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan sehingga
mampu mencapai visi dan misi organisasi. Dubois dalam Suwanto dan Priansa (2011)
menyatakan bahwa rekrutmen adalah proses menarik sebanyak mungkin kualifikasi
pelamar untuk lowongan yang ada dan bukan antisipasi. Ini merupakan pencarian
bakat, pengejaran kelompok terbaik pelamar untuk posisi yang tersedia.
SDM yang ingin dibangun adalah
PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen kepegawaian modern, PNS
yang profesional, netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna, produktif,
transparan, bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat,
jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai dengan tugas, fungsi dan beban
kerja yang ada di masing-masing instansi pemerintah), penerapan sistem
merit dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem
diklat yang mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir
terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen
kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan database
kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang
layak dan adil, menuju manajemen modern.
Dengan demikian akan
memunculkan pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan
berdampak pada sistem kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia.
Tantangan yang dihadapi di bidang kelembagaan, adalah menata ulang struktur
organisasi dengan prinsip rasional dan realistik (sesuai kebutuhan) dan
perangkat kelembagaan yang lebih efektif serta efisien yang berorientasi pada
peningkatan pelayanan masyarakat. Hal ini menuntut penyediaan sarana dan
prasarana pemerintahan yang dapat mendukung terwujudnya pelayanan prima. Di
bidang ketatalaksanaan, tantangan yang dihadapi adalah kualitas dan
transparansi pelayanan masyarakat yang kurang adaptif terhadap
perubahan-perubahan dan tuntutan-tuntutan masyarakat, oleh karena itu
diperlukan penyempurnaan sistem ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan di daerah. Bidang sumber daya
manusia aparatur menghadapi tantangan untuk mengembangkan sistem perencanaan
Sumber Daya Manusia aparatur pemerintah sesuai hasil penataan struktur dan
perangkat kelembagaan daerah. Konsekuensinya adalah pembentukan disiplin, etika
dan moral yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan tuntutan
terhadap perwujudan aparatur pemerintah yang bebas Korupsi Kolusi. Nepotisme
(KKN) dan lebih profesional.
Selain itu rekritumen
personal yang akan mengisi lowongan dilingkup pegawai negeri (PNS) yang
dilakukan penataan pasca moratorium penerimaan CPNS, diharapkan melahirkan CPNS
yang profesional dengan mental memberi pelayanan publik yang berkualitas.
Berlakukanya UU No 5 tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara (ASN) diharapkan juga
bisa mengubah mindset dan prilaku pegawai apartur sipil negara yang terdiri
dari PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perintah Kerja.
Hal yang tidak kalah
penting dalam revolusi mental birokrasi adalah adalah rektruimetn pejabat
struktural harus betul-betul mencerminkan pola rekritumen denga prinsip merit system yakni merekrut pejabat
struktural atas dasar kapasitas dan kapabilitas seseorang, bukan karena
kedekatan-kedekatan tertentu dengan pejabat atau sistem like and dislike sperti pola rekruitment dengan spoil system. Rekruitmen atas kehendak
dari shadow government (pemerintah
bayangan) atau local strong man yang biasa
berasal dari tim sukses atau partai pengusung kepala daerah (gubernur,
bupati/walikota) saat pemilihan sudah harus direvolusi.
Best practise revolusi
mental dalam rekrtutmen pejabat struktural adalah model lelang jabatan seperti yang
diterapkan di DKI. Dengan memberikan kesempatan kepada pegawai negeri yang
memenuhi syarat kepangakatan untuk diuji kelayakan dan kepatutatannya untuk
menduduki jabatan yang tersedia adalah model yang bisa ditiru oleh seluruh
pejabat di daerah dalam rangka melakukan revolusi mental sebagai upaya optimal
dalam meningkatakan pelayanan. Karena pejabat yang terpilih melalui lelang
jabatan akan merasa memiliki amanah yang lebih tinggi dan bertanggungjawab
kepada publik atas jabatan yang diberikan sehingga pelayanan publik akan
diterapkan dengan optimal.
D. Kesimpulan
Revolusi mental birokrasi adalah pembenahan sistem dan
mental aparatur birokrat dalam upaya meningkatakan pelayanan publik. Revolusi
mental birokrasi adalah membangun jiwa,
mental, prilaku dan karakter birokrasi dalam rangka penataan ulang secara bertahap dan sistematis
dengan correct dan perfect atas fungsi utama pemerintah demi
kelancaran pendayagunaan aparatur negara yang kualitasnya semakin meningkat,
meliputi kelembagaan atau institusi yang efisien dengan tata laksana yang jelas
(transparan), diisi SDM yang profesional, mempunyai akuntabilitas tinggi kepada
masyarakat serta menghasilkan pelayan publik yang prima.
Point
utama dalam revolusi mental birokrasi adalah adalah rektruimetn pejabat
struktural yang mencerminkan pola rekritumen denga prinsip merit system yakni merekrut pejabat struktural atas dasar kapasitas
dan kapabilitas seseorang, bukan karena kedekatan-kedekatan tertentu dengan
pejabat atau sistem like and dislike
sperti pola rekruitment dengan spoil
system. Rekruitmen atas kehendak dari shadow
government (pemerintah bayangan) atau local
strong man yang biasa berasal dari tim sukses atau partai pengusung kepala
daerah (gubernur, bupati/walikota) saat pemilihan sudah harus direvolusi.
Lelang
jabatan sebagai bagia best practise dalam revolusi mental birokrasi dalam
rekruitment pejabat struktural merupakan salah satu upaya optimal dalam rangka
revolusi mental birokrasi dalam kerangka optimalisasi pelayanan publik.
Daftar Pustaka
Buku
Albrow
M., (1996), Birokrasi, Tiara Wacana,
Yogyakarta
Ratminto
& Atik Septi Winarsih, 2005. Manajemen
Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rosyadi,
Slamet. 2010. Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Gava Media,
Yogyakarta.
Tamin,
Feisal. 2004. Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara.
Blantika, Jakarta.
Sumber
Lain
Argama
R., (2007), Reformasi
Birokrasi dalam Perkpektif Adminitrasi Pembangunan (Makalah), Universitas
Indonesia, Depok.
UU
No 5 Tahun 2014 tentang Aapartus Sipil Negara
0 Komentar:
Posting Komentar