Selasa, 11 Mei 2010

Sisi Lain Buku Membongkar Gurita Cikeas


Antara Intelektual Organik dengan Intelektual Istana

Buku Membongkar Gurita Cikeas Dibalik Kasus Bank Centuri telah membuat heboh lingkaran Cikeas. Buku tersebut menggambarkan jaringan bisnis dan juga yayasan yang dimiliki keluarga Cikeas termasuk enam yayasan yang dikelolah oleh keluarga Cikeas yang berperan sebagai mesin uang dalam kampanye pilpres, yayasan tersebut diantaranya Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian, Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Zikir SBY Narussalam dan Yayasan Mutu Manikan Nusantara. Buku setebal 183 halaman tersebut sangat menyoroti masalah yayasan keluarga SBY dan deposan Bank Centuri yang menjadi penyumbang logistik SBY dalam pilpres diantaranya Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna.

George J. Aditjondro sang penulis adalah seorang intelektual yang bergelar Ph.D jebolan Cornell University Ithaca New York, kini Aditjondro mengajar Universitas New Castle Australia dalam bidang Sosiologi, sebelum menulis buku membongkar Gurita Cikeas, dia rajin memperhatikan dan mengkritisi presiden Indonesia mulai dari era Soekarno sampai SBY, buku dan karya lainnya yang pernah diterbitkan diantaranya adalah, Reproduksi Oligarkhi Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa(2006), Kebohongan-Kebohongan Negara: Prihal Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup di Nusantara (2003), Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari; Kedua Puncak Korupsi, Kulusi dan Rezim Orde Baru (2003), Menyambut Era SBY Kedua yang (Mudah-Mudahan) Lebih Bersih dari Era SBY Pertama (2009)

Buku yang diterbitkan oleh Galangpress Jogyakarta tersebut selain mendapat kritik dari lingkaran Cikeas atau pihak-pihak yang disebutkan dan atau disudutkan dalam buku tersebut, juga mendapat kritikan dari kalangan akademisi sendiri. Buku tersebut tidak bisa dianggap sebagai sebuah karya ilmiah apalagi sebagai karya intelektual. Karya intelektual paling tidak harus mengikuti kaidah ilmiah, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula. Atau paling tidak sebuah buku untuk dikatakan sebagai karya intelektual bilamana penelusuran data-data yang dipakai dalam menyusun buku tersebut memiliki sebuah metodologi yang benar. 


Selain itu buku tersebut tidak memenuhi syarat metodologi dan konten untuk buku layak baca. Penulis tidak mengklarifikasi langsung narasumber dan tidak menunjukkan validitas data dalam buku. Buku tersebut dibangun hanya melalui kepandaian merangkai data-data sekunder tanpa melakukan konfirmasi atau penelitian yang lebih mendalam.
Walau sang penulis dalam berbagai kesempatan membantah bahwa penyusunan buku dengan penelusuran data pustakan diakui dalam metodologi. Dan mengatakan bahwa buku tersebut merupakan hasil riset sejak SBY menjadi presiden pertama tahun 2004. Tetapi kehadiran buku tersebut tetap mengundang kontroversi sehingga berbagai pihak mendesak untuk dilakukan revisi.

Antara Intelektual Organik dengan Intelektual Istana

Terlepas data yang disampaikan itu benar atau tidak, tulisan ini mencoba melihat sisi lain dari buku kontroversial tersebut, yakni kehadiran orang-orang lingkaran Cikeas atau lingkaran istana yang beberapa diantaranya tersirat disoroti dalam buku tersebut. Orang-orang yang ada dalam lingkaran istana beberapa diantaranya dapat dikategorikan dengan kelompok intelektual (mulai dari staf ahli, dewan pertimbangan presiden, think tank SBY sampai pada juru bicara). Relasi dalam tulisan ini adalah kehadiran buku tersebut dengan keberadaan kelompok intelektual istana serta streototipe intelektual dewasa ini. 


Buku sebagai produk pengetahuan harus diakui sebagai sebuah karya intelektual, walau pengkategorian semacam itu harus memiliki kaidah tertentu. Pengetahuan dan intelektual merupakan sebuah relasi organik. Pengetahuan dan kekuasaan tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
Michael Foucault dalam Discipline and Punisch, pernah menyinggung bahwa kekuasaan dan pengetahuan mempunyai hubungan yang rasional dan saling memperkembangkan. Tidak ada relasi kuasa tanpa keberadaan wilayah pengetahuan, dan juga tidak ada pengetahuan yang tidak menimbulkan relasi kuasa. Kekuasaan membutukan pengetahuan untuk melihat dan mencermati berbagai fenomena. Sedangkan pengetahuan membutuhkan kekuasaan dalam melihat relasi praktek pemerintah dengan pengetahuan tentang persoalan tersebut.


Relasi pengetahuan dengan kekuasaan juga mengingatkan kita pada gagasan Antonio Gramsci tentang “intelektual organik” yakni intelektual yang selalu membela kepentingan masyarakat dan mengambil bagian bersama rakyat untuk melakukan perjuangan-perjuangan politik revolusioner yang tidak jarang mendapat perlawanan dari sebuah rejim sehingga mereka terbuang, terpenjara bahkan terbunuh. Intelektual semacam ini kadangkala kehilangan sumber penghasilan dan pada akhirnya mereka sulit untuk tetap berada pada garis perjuangannya yang idealis. 


Sangat berbeda dengan intelektual institusional. Intelektual institusional ini penulis kategorikan sebagai “intelektual istana” yakni kelompok intelektual yang menghambakan pengetahuan mereka pada rejim dan membiarkan pengetahuannya terbeli oleh kekuasaan dan tak jarang menjadi penasehat rezim yang mampu mengalihkan agenda pengetahuan mereka dari kajian-kajian kritis tentang keadilan, ketergantungan dan kekuasaan ke arah tujuan teknokratik dan pembangunan. 


Kehadiran intelektual istana bukan hanya ada di pusat, kelompok seperti ini dapat kita jumpai juga didaerah dalam wujud staf ahli, baik dijajaran eksekutif maupun di legislatif, mereka hadir dan dihadirkan oleh aturan normatif tentang perlunya keberadaan lembaga think tank guna memberi masukan bagi pengambil kebijakan di daerah. Namun tidak semua staf ahli dikategorikan sebagai intelektual institusional atau intelektual istana. Untuk menilainya sebenarnya cukup mudah, kita bisa melihat sejauh mana peran dan kontribusi keilmuan mereka diabdikan pada kepentingan rakyat atau hanya untuk kelanggengan sebuah rejim baik dipemerintahan pusat ataupun di daerah.

Menunggu Karya Intelektual Istana

Berbagai kalangan melihat bahwa sebuah karya intelektual seharusnya juga dijawab dengan karya sejenis pula, misalnya dengan menerbitkan buku putih untuk menyangkal jika data yang ada dalam buku tersebut tidak valid dengan membuat falsifikasi terhadap data yang dituangkan dalam sebuah buku tersebut, walau sudah ada buku yang dibuat oleh Setiyardi Negara (bekas wartawan Tempo) dengan judul Hanya Fitnah dan Cari Sensasi George Aditjondro, tetapi menurut hemat penulis ini hanya bermotif ekonomi atau sebagai resensi seperti yang diakui oleh penulisnya sendiri, jadi bukan buku semacam ini yang ditunggu-tunggu oleh publik.


Lingkaran istana yang dikelilingi oleh kelompok-kelompok intelektual, justru diharapkan untuk membuat buku tandingan kalau memang kehadiran buku tersebut dinilai layak untuk diklarifikasi. Langkah tersebut paling tidak membuktikan dengan kehadiran kelompk intelektual di istana bukan sebagai intelektual institusional sebagaimana asumsi Gramsci tersebut. Bukan sebagai intelektual yang “melacurkan” diri terhadap agenda kekuasaan atau menjadi corong legitimasi kekuasaan. Dan menghindari klain para intelektual tersebut menjadi intelektual tukang dan cendiakawan-cendiakawan teknokrat yang mengabdi kepada kekuasaan.


Kalau ini bisa dilakukan oleh intelektual istana, maka streototipe intelektual miring yang pernah dialamatkan para intelektual di era orde baru bisa terhindari. Ada beberapa kelompok intelektual Orde Baru pernah dianggap sebagai intelektual tukang karena banyaknya kelompok intelektual yang mengabdikan pengetahuannya pada lingkaran kekuasaan orde baru dan membuat karya atas pesanan dari lembaga donor yang memiliki motif-motif tertentu dan melakukan riset hanya untuk meningkatkan gengsi dari sebuah kebijakan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.
Kini intelektual istana sudah mulai “tergadai” pengetahuannya hanya untuk melakukan advice kebijakan dan klarifikasi atas prilaku yang diperbuat oleh presiden beserta jajarannya. Kebijakan yang tidak populis berusaha menampilkan para intelektual istana lewat staf ahli dalam membangun second opinion sehingga kebijakan presiden menjadi justifikasi kebenaran pengetahuan.

1 Komentar:

  • Trayez says:
    24 November 2011 pukul 01.32

    NICE POSTING,, SALAM KENAL... BLOG ANAK PALU.. HEHEHE


    http://palukursusdisain.blogspot.com/