Rabu, 20 Januari 2016

Partisipasi Politik Masyarakat dalam Era Reformasi (Studi Kasus Kota Makassar)




A.    Abstraksi

Studi Partisipasi politik telah banyak dilakukan oleh kalangan ilmuwan politik, baik dalam negara berkembang maupun di negara maju. Hasil studinyapun tidak terlalu banyak perbedaan dalam suatu wilayah, baik dari segi kualitas, model, bentuk maupun faktor yang berpengaruh dalam berpartispasi.
Tulisan dibawah ini mencoba mengejewantahkan hasil studi partisipasi masyarakat Indonesia (Kota Makassar)  pasca tumbangnya orde baru. Faktanya, masyarakat dalam era reformasi mengalami perubahan dalam partisipasi politik , terutama dalam model dan sifatnya. Pada era orde baru partisipasi lebih cenderung menjadi fsudo participation, namun dalam era reformasi model dan bentuk partisipasi sudah lebih mengarah menjadi partisipasi otonom. Model partisipasi semu dan mobilisasi berangsur-angsur menjadi partisipasi otonom.  Selain itu perubahan sistem ketatanegaraan mempengaruhi masyarakat dalam partisipasi, sehingga dengan perubahan sistem politik membawa perubahan terhadap sikap dan orientasi politik warga.


Key Word : Partisipasi Politik, Masyarakat, Reformasi    

B.     Pengantar
Partisipasi politik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari politik modern dan telah menjadi roh dari demokrasi. Beberapa ilmuwan telah mengkaji partisipasi politik di belahan dunia, terutama dalam negara berkembang. Banyaknya ilmuwan yang tertarik untuk mengetahui partisipasi dalam negara ketiga disebabkan karena masih banyaknya elit penguasa yang mempraktekkan penggalangan atau mobilisasi dalam mempertahankan dan merebut kekuasaan.
Dalam negara berkembang, pengambilan kebijakan masih didominasi segolongan elit penguasa . keikutsertaan warga negara relatif masih kecil, warga negara yang kebanyakan dari grass root dan masyarakat periperyal cenderung tidak diperhitungkan dalam proses-proses politik.
Bagi bangsa Indonesia selama kurang waktu sejak kemerdekaan, pasang surut partisipasi politik mayarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah dilalui oleh warganya. Kondisi politik, struktur politik, sistem ketatanegaraan serta perilaku politik warga Indonesia menjadi bagian integral dari bentuk partisipasi masyarakat.
Selama orde baru negara membuat jarak yang cukup jauh dengan masyarakat, keterlibatan masyarakat hanya menjadi prosedural dari sebuah demokrasi. Dengan dasar stabilitas masyarakat harus tunduk dan tidak boleh mencampuri urusan negara. dalam keadaan tersebut keterlibatan masyaraka dalam kegiatan politik menjadi absurd dan cenderung menjadi mobilisasi.
Namun pasca tumbangnya orde baru, keterlibatan masyarakat mulai terbuka. Dalam era reformasi terjadi perubahan konstitusi yang membawa perubahan perilkau warganya.
B. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana partisipasi politik masyarakat Kota Makassar dalam era reformasi  
  2. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam partisipasi politik  
C. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan sifat analisis diskriptif, Lokasi di Kota Makassar dengan membagi masyarakat berdasarkan cluster. Masyarakat menengah di wakili dari kecamatan Panakukkang dan Tamalenrea serta masyarakat Marjinal di wakili dari kecamatan Biringkanaya. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan indeft interview  bagi masyarakat yang dianggap bisa mewakili kelompoknya. Selain itu data skunder diambil dari berbagai informasi yang berkaitan dengan tema dalam bentuk dokumentasi baik berupa buku, jurnal maupun dalam media cetak.  
D. Tinjauan Pustaka
Partisipasi Politik
            Partisipasi politik dimakanai sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembuatan kebijakan publik. Sementara itu Maran mengemukakan bahwa partisipasi politik dimaksudkan sebagai usaha terorganisir oleh para warga negara untuk memilih pemimpin-pemimpin mereka dan mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijakan umum.[2] Usaha ini dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu negara. 
Sedangkan Huntington dan Nelson memberi batasan tegas tentang partisipasi politik. bahwa hanya kegiatan warga negara preman (private cirtizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah[3] yang dianggap sebagai partisipasi politik.
Dari pemahaman ilmuwan politik tersebut diatas maka dapat dapat diambil beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian, bahwa pertama, partisipasi politik merupakan tindakan legal, dalam arti dilindungi oleh aturan hukum yang berlaku sehingga merupakan sesuatu yang sah dan diterima dalam suatu negara demokratik. Kedua, partisipasi politk berbeda dengan sikap dan prilaku politik. Sikap politik merupakan pysicological disposition dari pada seseorang, sementara prilaku politik tidak selamanya berkaitan dengan tujuan yang jendak dicapai, sementara itu partisipasi politk berkaitan erat usaha dari individu untuk mencapai tujuan. Ketiga, partisipasi merupakan tindakan politik yang dialkukan oleh para warga masyarakat kebanyakan, bukan berkaitan dengan tindakan politik yang dilakukan oleh para politisi profesional, seperti tokoh politik, anggota lembaga perwakilan rakyat, dan tokoh kelompok kepentingan. Keempat, partisipasi politik berkaitan erat dengan kegiatan  yang dilakukan oleh masyarakat yang bersifat mandiri, bukan kegiatan yang bersifat seremonial ataupun digerakkan dari atas baik pemerintah maupun elit lainnya[4].  
Dengan demikian maka partisipasi politik mencakup tidak hanya kegiatan yang dilakukan untuk memepengaruhi pengambilan keputusan pemerintah yang berupa prilaku tetapi juga termasuk sikap warga negara dalam menyikapi kegiatan pemerintah, baik oleh diri sendiri tetapi juga termasuk kegiatan yang dilakukan oleh orang diluar diri sendiri sepanjang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang akan diambil dan dilakukan oleh pemerintah.
Sifat Partisipasi Politik: Mobilisasi versus Otonomi
            Banyak kalangan yang tidak memberi batasan sifat partisipasi politik antara partisipasi mobilisasi dengan partisipasi otonomi. Bahkan ada beberapa ahli yang menganggap tindakan yang dimobilisasi atau yang dimanipulasikan tidak termasuk partisipasi politik, Myron Wiener[5] misalnya menekankan sifat sukarela dari partisipasi, dengan mengemukakan argumentasi bahwa menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat-rapat umum atas perintah pemerintah, tidak ternasuk partisipasi politik. Selain Myron, beberapa ahli yang lebih menfokuskan partisipasi politik hanya pada kegiatan politik yang sifatnya mandiri, seperti McClosky, Almond, Norman H.Nie dan lainnya, mereka menganggap bahwa partisipasi politik terbatas hanya pada kegiatan-kegiatan politik yang dilakukan oleh pelaku politik atas inisiatif diri sendiri[6]
Namun dalam fokus kajian ini penulis tidak memakai argumen Myron Wiener dkk tersebut, dan cenderung sepakat apa yang dikemukakan oleh Huntington dan Nelson, bahwa argumen yang dibangun Myron Wiener atau ahli lain yang tidak menganggap mobilisasi sebagai bagian partisipasi politik, cenderung mengesampingkan apa yang namanya partisipasi seremonial atau dukungan dimana para warga negara mengambil bagian dengan jalan menyatakan dukungan pada pemerintah.[7]
Karena dalam fokus penelitian ini akan melihat bagaimana melihat partisipasi warga negara dalam era reformasi, maka terdapat argumen-argumen yang kuat untuk memasukkan dua kategori tersebut, yang dimobilisasi dan yang sukarela, kedalam penjajagan yang luas mengenai pola-pola partisipasi politik.
Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
            Bentuk-bentuk partisipasi politik oleh banyak ahli dikategorikan dalam berbagai jenis. Namun kalau kita melihat secara umum pada dasarnya terbagi dalam kategori konvensional dan non konvensional seperti yang dibatasi oleh Almond[8]. Partisipasi konvensional meliputi pemberian suara, aktivitas diskusi politik, kegiatan kampanye, aktivitas membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan lain, dan komunikasi individu dengan pejabat politik dan administratif. Sedangkan bentuk non konvensional, meliputi pengajuan petisi, demontrasi, konfrontasi, pemogokan dan serangkaian tindakan kekerasan, seperti kekerasan politik terhadap benda-benda, yang berupa perusakan, pemboman, dan pembakaran, serta gerilya revolusi dan kudeta.
Sementara itu menurut Rafael bentuk-bentuk partisipasi politik yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut : menduduki jabatan politik atau administrasi; mencari jabatan politik atau administrasi; menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi politik; menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik; menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi-politik; menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi semi-politik; partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya; partisipasi dalam diskusi politik informal serta partisipasi dalam pemungutan suara pemilu.[9]
 Bentuk partisipasi tersebut dikenal dengan hierarki partisipasi politik, hierarki partisipasi berlaku di berbagai tipe sistem politik. Tetapi arti masing-masing tingkat partisipasi tersebut bisa berbeda dari sistem politik yang satu ke sistem politik yang lain.
Ilmuwan lain, Huntington dan Nelson mengemukakan bahwa partisipasi politik dapat terwujud dalam pelbagai jenis perilaku yakni, kegiatan pemilihan, lobbyng, kegiatan organisasi, dan mencari koneksi. Sementara itu  Ramlan Subakti yang membagi partisipasi politik menjadi partisipasi aktif dan pasif. [10]
Sebenarnya banyak kegiatan warga negara yang bisa dikategorikan sebagai partisipasi politik, namun dalam kajian ini yang termasuk dalam model dan bentuk partisipasi politik adalah hanyalah kegiatan warga negara yang dilakukan baik secara bersama-sama ataupun kegiatan yang sifatnya personal yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.   
Faktor-Faktor Berpengaruh dalam Partisipasi Politik
            Beberapa kalangan yang mengatakan bahwa faktor utama mendorong orang untuk melakukakan kegiatan politik atau berpartisipasi adalah kepuasan finansial, bahwa status ekonomi yang rendah menyebabkan seseorang merasa teralienasi dari kehidupan politik.[11]  Hal ini sangat besar kemungkinan akan dijumpai dalam penelitan ini, mengingat masyarakat Indonesia yang masih belum mampu keluar dari krisis sebagai akibat resesi ekonomi global dan resesi ekonomi nasional. Dengan keadaan masyarakat yang masih terkutak pada persoalan perut, maka logika yang terbangun bahwa persoalan yang menyangkut tentang politik masih dianggap bukan kepentingan mereka.      
Selain itu, ada empat faktor utama yang mendorong orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, pertama, karena adanya perangsang, maka orang mau berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam hal ini minat untuk berpartisipasi dipengaruhi misalnya oleh sering mengikuti diskusi-diskusi politik melalui mass media atau melalui diskusi informal; kedua, karena faktor karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang berwatak sosial pada umumnya, mempunyai kepedulian besar terhadap problem sosial, ekonomi, dan  lainnya, biasanya mau terlibat aktivitas politik; ketiga faktor karakteristik sosial seseorang. Karakter sosial menyangkut status sosial ekonomi, kelompok ras, etnis, dan agama seseorang.
             Selain faktor-faktor diatas yang menyebakan orang akan berpartisipasi dalam kehidupan politik, terdapat faktor-faktor lain seperti, syarat legal bagi suatu sistem pemilihan, sifat dasar sistem partai, dan ciri kepemimpinan yang dikembangkan oleh suatu partai politik. Faktor-faktor inipun mempengaruhi partisipasi orang dalam kehidupan politik. Syarat legal yang bermacam-macam akan membuat orang enggang untuk berpartisipasi dalam suatu aktivitas politk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum (electoral vote)
            Partisipasi politik masyarakat dalam pemberian suara di Kota Makassar cukup tinggi, hal ini dapat dilihat  dalam tabel 1 (Tabel Pemberian Suara). Kalau melihat perbandingan di negara yang modernisasinya lebih maju justru angka-angka tersebut melebihi untuk tingkatan pemilu seperti di Amerika yang tiap kali dalam penyelenggaraan pemilu angka pemberian suaranya hanya mencapai 30%. Sedangkan kota Makassar pemberian suara tidak pernah mencapai angka dibawah 80%.
Tabel 1. Pemberian Suara di Kota Makassar

Tingginya pemberian suara di Kota Makassar sangat berbanding lurus dengan angka golput. Golput di Kota Makassar sepanjang enam kali penyelenggaraan pemilu hanya pada pemilu tahun 1997 yang mencapai prosentase diatas 15 % lihat tabel 3 (Golput di Makssar) hal ini sebagai akibat dari mulai kurang percayanya masyarakat pada pengelolaan negara dibawah kekuasan orde baru yang makin menyuburkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (kokonep).  Praktek kokonep di Kota Makassar sangat menonjol dalam perekrutan CPNS dan pengisian pejabat struktural. Akibatnya pada pemilu tahun 1997 yang sekaligus pemilu terakhir era orde baru, banyak masyarakat yang mulai tidak percaya terhadap negara yang ditunjukkan melalui pemberian suara. Pada pemilu tersebut angka golput mencapai 16,14%. Angka tersebut merupakan golput tertinggi sepanjang pemilu di Kota Makassar. Namun secara kesluruhan pemberian suara di Kota Makassar cukup tinggi.     

Tabel 2 Golput di Makassar

Tingginya tingkat pemberian suara masyarakat Kota Makassar, tidak ditentukan dengan sistem yang berlaku dalam konstitusi di Indonesia. Perubahan undang-undang politik tidak berkolerasi posisitf dengan sikap masyarakat Kota Makassar dalam pemberian suara. Hal ini berdasarkan pemberian suara masyarakat Kota Makassar dari pemilu ke pemilu berikutnya. Tingginya pemberian suara di Kota Makassar dari awal orde baru sampai reformasi tidak menunjukkan perubahan yang berarti.
            Pola partisipasi masyarakat Kota Makassar hanya berkolerasi dengan kegiatan pemilu, seperti kegiatan dalam aktivitas kampanye, keterlibatan dalam organisasi peserta pemilu, keterlibatan dalam tim sukses calon anggota legislatif,DPD dan capres. Perubahan pola partisipasi tersebut sebagai akibat semakin terbukanya akses masyarakat dalam kegiatan politik, baik untuk menjadi anggota organisasi politik maupun sebagai anggota partai politik. Kebebasan dalam mengartikulasi berbagai macam kepentingan masyarakat dalam partai politik memberi peluang secara linier terhadap perubahan sikap dan pola  partisipasi politik
Partisipasi Politik dalam Pelaksanaan Evaluasi
            Dalam variabel ini akan kita melihat bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan evaluasi, regulasi yang telah dibuat oleh legislatif yang kemudian dijewantahkan oleh eksekutif tentunya tidak sepenuhnya mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat, hal ini dapat kita lihat bagaimana warga negara dalam menyikapi kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah.
            Salah satu variabel yang dapat dilihat disini adalah bagaimana warga negara menyampaikan aspirasinya.            Penyampaian aspirasi sebenarnya tidak dapat dijadikan sebagai variabel penentu dalam melihat bagaimana tingkat partisipasi. Namun setidaknya dapat memberikan gambaran bagaiamana sikap masyarakat terhadap suatu keputusan yang telah atau akan diambil oleh negara.
Untuk kota Makassar berdasarkan tabel penyampaian aspirasi. (Tabel 3) terlihat keaktifan masyarakat Kota Makassar dalam menyikapi suatu persoalan masih rendah secara keseluruhan. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbanda) Provinsi Sulawesi Selatan yang pernah mengadakan penelitian di Kota Makassar tahun 2003 juga menemukan bahwa dalam tingkat kepedulian Masyarakat dalam penyampaian aspirasi dalam bentuk demonstrasi sekitar 15%[12].
Tabel 3. Penyampaian aspirasi masyarakat kota Makassar
No
Bulan
Tahun
Jumlah
Total
99/00
2000
2001
2002
2003
2004
1
Januari
-
4
-
3
-
8
15
2
Februari
2
5
-
6
3
3
19
3
Maret
6
-
-
4
1
3
14
4
April
9
-
6
8
2
2
27
5
Mei
3
8
9
9
2
3
34
6
Juni
-
12
2
5
-
5
24
7
Juli
4
6
13
7
4
10
34
8
Agusutus
-
-
5
3
8
4
16
9
September
-
-
2
6
1
-
9
10
Oktober
5
11
11
3
7
-
37
11
November
-
-
5
4
2
-
11
12
Desember
-
2
-
2
8
-
12

Jumlah
29
48
53
60
38
38
252
        Sumber: Humas DPRD Kota Makassar

Dengan demikian bahwa kategori partisipasi politik dalam penyampaian aspirasi masih rendah. Tetapi dalam konteks tertentu masyarakat mengalami penguatan dalam melakukan kontrol terhadap negara, seperti bulan Juni 2000, bulan Juli dan oktober 2003, bulan Juli 2004.
Pola dan Bentuk Partisipasi Politik
            Tingkat perhatian masyarakat terhadap berbagai proses politik dalam berbagai tingkat aktivitas politik terbagi dalam konteks nasional dan skala yang bersifat lokal. Pola partisipasi politik yang pernah yang dilakukan masyarakat Kota Makassar dalam konteks nasional seperti pemilu legislatif dan DPD serta pemilihan presiden. Sedangkan dalam skala lokal adalah kegiatan yang dalam pemilihan Lurah, Walikota dan Gubernur walau pada saat dilakukan penelitian ini, keterlibatan masyarakat masih dalam konteks penjaringan bakal calon walikota atau gubernur, karena pemilihan untuk level tersebut masih dilakukan oleh legislatif.
            Namun keterlibatan masyarakat dalam penjaringan sampai pada proses pemilihan menunjukkan espektasi yang luar biasa dari masyarakat dibanding dengan  masa orde baru. Pada masa orde baru masyarakat bahkan tidak merasakan konstalasi yang tinggi pada saat akan diadakan sampai pada pemilihan Gubernur dan Walikota.   
            Setelah era reformasi tingginya espektasi masyarakat bukan hanya dalam kegiatan pemilihan kepala daerah. Tetapi juga dalam sektor lain. Dalam beberapa peristiwa masyarakat mulai berani menyampaiakan semua persoalan yang mereka hadapai, bahkan masyarakt mulai berani vis a vis terhadap negara 
            Keberanian masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap negara setelah era reformasi menjadi sebuah kemajuan dalam konsolidasi demokrasi. Di mana pihak rakyat tidak lagi dijadikan komoditas para penguasa. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah terjadinya ledakan partisipasi. Dalam  teori Paige bahwa partispasi bisa menjadi anarkhis bilamana menguatnya posisi masyarakat terhadap negara sementara negara tidak mampu memberi respon terhadap gejala penguatan posisi rakyat.
            Di Kota Makassar euforia kebebasan justru terjadi sebelum tumbangnya peguasa orde baru. dalam beberapa kasus justru gerakan masyarakat menguat terhadap negara pada saat sebelum bangsa Indonesia masuk dalam era reformasi, maka tidak mengherankan kalau Kota Makassar pada saat terjadinya gerakan mahasiswa tahun 1995 yang disertai pembataian etnis Tionghoa yang terjadi di ibukota, mendapat penjagaan ketat dari aparat negara.  
Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Partisipasi Politik
Pengaruh Pembangunan terhadap Partisipasi
Dalam kalangan pemerhati sosial kemasyarakatan terdapat proposisi yang berlaku bahwa masyarakat tradisional adalah non partisipan masyarakat modern partisipan. Dalam perkembangan partisipasi tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan politik yang utama antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern terletak pada lingkup, intensitas, dan landasan partisipasi politik. Di dalam masyarakat yang kompleks dan lebih sejahtera, dengan tingkat industrialisasi dan urbanisasi yang tinggi, lebih banyak orang terlibat dalam politik dibandingkan dengan sistem-sistem ekonomi dan sosial yang masih terbelakang kurang berkembang.
Oleh sebab itu tidak mengherankan bila tingkat partisipasi politik suatu daerah bervariasi sejalan dengan tingkat pembangunan dan kemajuan ekonominya. Bukti-bukti silang-nasional dan longitudinal untuk mendukung proposisi itu terlihat dimana-mana  Hal ini berlaku pula dalam Kota Makassar, dengan tingkat ekonomi masyarakat yang heterogen, terdapat pula tingkat partisipasi politik yang beragam pula, dalam kecamatan yang menjadi locus penelitian sangat kelihatan perbedaan dengan karakter kecamatan dengan kehidupan warga negara yang tingkat kesejahteraannya lebih baik juga mempunyai tingkat partisipasi yang lebih kompleks pula.
Dalam kecamatan dengan latar belakang ekonomi yang lebih maju[13] terdapat kecenderungan bahwa partisipasi politik yang dilihat dari konteks kognetif yakni pengetahuan masyarakat terhadap kegiatan negara, untuk Kota Makassar cukup tinggi, hal ini berdasarkan temuan di lapangan bahwa masyarakat cukup banyak mengetahui tentang kegiatan yang ada dalam lingkungannya tetapi mereka terkadang enggan untuk mengikuti kegiatan yang menurut mereka, tanpa kehadirannyapun kegiatan tersebut akan berjalan
Meskipun demikian secara afektif (keterlibatan secara fisik, kehadiran, peran, sumbangan dalam kegiatan politik) masyarakat Kota Makassar, kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan, seperti pengambilan keputusan, pelaksanaan evaluasi, kecuali dalam pelaksanaan pemilu.
Sedangkan dari kecamatan dengan latar belakang ekonomi rendah/masyarakat marjinal partisipasi secara kognetif kurang tinggi, hal ini dikarenakan informasi dan keterbatasan dalam informasi yang mereka terima. Selain itu, adanya pola pikir rendah dengan asumsi bahwa kegiatan politik bukan menjadi prioritas mereka juga menjadi penyebab kurang terlibatnya mereka. Tetapi dalam kegiatan secara fisik, sepanjang mereka dapat informasi dan punya ketersediaan waktu, keterlibatan mereka cukup tinggi.       
Pengaruh Perubahan Sistem Terhadap Pola Partisipasi Politik
            Bagi masyarakat Kota Makassar perubahan tersebut terlihat dari pola partisipasi arahan (mobilisasi) berangsur-angsur menjadi partisipasi otonom. Hal ini terjadi disebabkan karena sikap dan pandangan masyarakat yang sudah mulai berubah (vision of change). Masyarakat Kota Makassar sudah mulai terbangun sebuah kesadaran bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, dengan masyarakat yang dikenal dengan ketaatan dalam menjalankan agama, mereka berkeyakinan tanpa usaha maka perubahan niscaya akan terjadi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tim Balitbangda Prov Sul-Sel tahun 2003 dikemukakan bahwa Masyarakat Kota Makassar dalam melakukan kegiatan politik didasari oleh keinginan masyarakat untuk melihat perubahan yang terjadi dalam bangsa dan negara ini (Tabel 4; Sikap Politik Masyarakat Kota Makassar dalam Partisipasi Politik).
Sumber Balikbangda 2003

Kesadaran sendiri tanpa mobiliasi dari penguasa menjadi point tertinggi dalam penelitian tersebut Data tersebut membuktikan bahwa kesadaran masyarakat mulai meningkat, seiring dengan perubahan yang terjadi dalam bangsa Indonesia, sangat berbeda dengan masa sebelumnya pada saat penguasaan orde baru, keterlibatan masyarakat dalam aktivitas politik  masih lebih banyak karena mobilisasi dari pemerintah. Masyarakat berpartisipasi karena adanya ketakutan-ketakutan akan konsekwensi  yang akan diterima masyarakat bilamana tidak terlibat dalam kegiatan negara.
Upaya dalam Menumbuhkan Partisipasi Politik
            Posisi masyarakat yang lemah terhadap negara selama orde baru, harus lebih ditingkatkan dengan memberi porsi dan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai kegiatan serta aktivitas politik. Untuk Kota Makassar keterlibatan secara kognitif yang tinggi harus dibarengi dengan keterlibatan secara aktif. Negara/pemerintah Kota Makassar menurunkam privilese terhadap masyarakat. Praktek negara yang selama ini menciptakan jarak dengan masyarakat harus direform.
            Negara hendaknya tidak melakukan kontrol yang sangat ketat  terhadap masyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan kreasi dan inisiasi terhadap pemgembangan daerahnya, sepanjang dalam koiridor  normal. Kondisi koorparatisme yang dengan sengaja dibentuk oleh orde baru, semoga tidak terjadi lagi dalam era reformasi, karena keadaan tersebut tidak saja melemahkan kontrol masyarakat terhadap negara, tetapi juga masyarakat  mengalami alienasi dalam kegiatan negara.
            Negara yang dalam melakukan fungsi public service yang diwakili oleh birokrat sebaiknya tidak mengambil jarak dengan masyarakat, sehingga antara yang dilayani dan melayani jelas terlihat pola hubungan yang ideal. Masyarakat yang enggan untuk berpartisipasi selama ini bukan semata-mata berasal dari dalam diri masyarakat sendiri tetapi juga karena sistem yang ada dalam lingkungannya menciptakan keadaan sehingga masyarakat tidak terlibat dalam kegiatan negara.


Kesimpulan
            Partisipasi politik secara afektif (keterlibatan secara fisik, kehadiran, peran, sumbangan dalam kegiatan politik) masyarakat Kota Makassar, kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan, seperti pengambilan keputusan, pelaksanaan evaluasi, kecuali dalam pelaksanaan pemilu.
Untuk pelaksanaan pemilu keterlibatan masyarakat Kota Makassar cukup tinggi terutama dalam pemberian suara, dan tidak punya korelasi posisitif terhadap perubahan sistem. Tetapi dalam hal penyampaian aspirasi dan evaluasi punya korelasi positif walaupun tidak besar.
Terjadinya pola dan model partisipasi masyarakat Kota Makassar dipengaruhi oleh beberapa faktor; pertama, pembangunan, dengan tingkat perekonomian dan penghidupan masyarakat yang beragam, mempunyai korelasi dengan model dan bentuk partisipasi masyarakat. Kedua,  perubahan sistem, dengan perubahan sistem ketatanegaraan yang terjadi pada era reformasi, partisipasi politik masyarakat Kota Makassar, partisipasi yang semula hanay sebagai arahan berangsur-angsur menjadi otonom. Ketiga, kesadaran, masyarakat mulai muncul kesadaran dalam melakukan kegiatan negara sehingga model dan bentuk partisipasi politik sudah mengarah lebih baik, walau terkadang keterlibatan masyarakat masih dalam preferensi mereka.    
Rekomendasi
            Negara hendaknya tidak melakukan kontrol yang sangat ketat  terhadap masyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan kreasi dan inisiasi terhadap pengembangan daerahnya, sepanjang dalam koiridor  normal. Kondisi koorparatisme yang dengan sengaja dibentuk oleh orde baru, semoga tidak terjadi lagi dalam era reformasi, karena keadaan tersebut tidak saja melemahkan kontrol masyarakat terhadap negara, tetapi juga masyarakat  mengalami alienasi dalam kegiatan negara.
            Negara yang dalam melakukan fungsi public service yang diwakili oleh birokrat sebaiknya tidak mengambil jarak dengan masyarakat, sehingga antara yang dilayani dan melayani jelas terlihat pola hubungan yang ideal. Masyarakat yang enggan untuk berpartisipasi selama ini bukan semata-mata berasal dari dalam diri masyarakat sendiri tetapi juga karena sistem yang ada dalam lingkungannya menciptakan keadaan sehingga masyarakat tidak terlibat dalam kegiatan negara.
            Bagi masyarakat, dengan perubahan yang terjadi dalam sistem tata pemerintahan, hendaknya tidak digunakan dalam kerangka penguatan yang mengarah pada terjadinya pembangkangan terhadap negara (civil disobelience)  
Untuk menghindari terciptanya konstelasi negara-masyarakat yang menghambat konsilidasi demokrasi dalam era reformasi, maka diperlukan sebuah perubahan yang tidak hanya dalam negara, tetapi masyarakat juga perlu ikut direformasi dengan cara memberikan pencerahan melalui civic educatian.




[1] Staf  Pengajar Univ. Tadulako
[2] Maran, Rafel Raga,2001, Pengantar Sosioloi Politik,Rineka Cipta, Jakarta.
[3] Huntington,Samuel.  Nelson, 1994, Partisipasi dalam Negara Berkembang, PT.Rineka Cipta,Jakarta  
[4] Affan gaffar, 1991, Partisipasi Politik di Indonesia, Majalah Prospektif hal 26
[5] Huntington dan Nelson, 1994, Partisipasi dalam Negara Berkembang, PT.Rineka Cipta,Jakarta
[6] Lebih jelasnya dapat dilihat dalam Drs Andre Bayo Ala, 1985, Hakekat Politik: Siapa Melakukan Apa Untuk Memperoleh Apa, Akademika, Yogyakarta
[7] op cit hal 10
[8] Almond, Gabriel dalam Mochtar Masoed dan Colin Mac. Andrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyyakarta, Gajah Mada Universitiy Press, hal 44
[9] Michael Rush dan Philip Atholf dalam Maran, Rafel Raga,2001, Pengantar Sosioloi Politik,Rineka Cipta, Jakarta, hal 147-149
[10] Ramlan Surbakti,1997, Memahami Ilmu Politik, PT.Gramedia, Jakarta
[11] Lindenfeld dalam Maran, Rafel Raga,2001, Pengantar Sosiologi Politik,Rineka Cipta, Jakarta
[12] Balitbangda Prop. Sul-Sel, 2003
[13] responden yang dipilih adalah mereka yang punya tingkat penghasilan diatas 5 juta atau dipilih dari masyarakat yang tinggal di  kawasan pertokoan dangan asumsi tingkat pendapatan mereka tinggi. 

2 Komentar:

  • Violita says:
    29 November 2016 pukul 19.21

    terimakasih, postingannya sangat membantu

  • A Z News says:
    24 Desember 2017 pukul 08.05

    Thanks Violita, terus menulis dan berbagi