A.
Abstraksi
Studi Partisipasi
politik telah banyak dilakukan oleh kalangan ilmuwan politik, baik dalam negara
berkembang maupun di negara maju. Hasil studinyapun tidak terlalu banyak
perbedaan dalam suatu wilayah, baik dari segi kualitas, model, bentuk maupun
faktor yang berpengaruh dalam berpartispasi.
Tulisan dibawah ini
mencoba mengejewantahkan hasil studi partisipasi masyarakat Indonesia (Kota
Makassar) pasca tumbangnya orde baru. Faktanya,
masyarakat dalam era reformasi mengalami perubahan dalam partisipasi politik ,
terutama dalam model dan sifatnya. Pada era orde baru partisipasi lebih
cenderung menjadi fsudo participation, namun dalam era reformasi model dan
bentuk partisipasi sudah lebih mengarah menjadi partisipasi otonom. Model partisipasi
semu dan mobilisasi berangsur-angsur menjadi partisipasi otonom. Selain itu perubahan sistem ketatanegaraan mempengaruhi
masyarakat dalam partisipasi, sehingga dengan perubahan sistem politik membawa perubahan
terhadap sikap dan orientasi politik warga.
Key Word : Partisipasi Politik, Masyarakat, Reformasi
B.
Pengantar
Partisipasi politik merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari politik modern dan telah menjadi roh dari demokrasi. Beberapa ilmuwan
telah mengkaji partisipasi politik di belahan dunia, terutama dalam negara
berkembang. Banyaknya ilmuwan yang tertarik untuk mengetahui partisipasi dalam
negara ketiga disebabkan karena masih banyaknya elit penguasa yang
mempraktekkan penggalangan atau mobilisasi dalam mempertahankan dan merebut
kekuasaan.
Dalam negara berkembang, pengambilan kebijakan masih
didominasi segolongan elit penguasa . keikutsertaan warga negara relatif masih
kecil, warga negara yang kebanyakan dari grass
root dan masyarakat periperyal
cenderung tidak diperhitungkan dalam proses-proses politik.
Bagi bangsa Indonesia selama kurang waktu sejak kemerdekaan,
pasang surut partisipasi politik mayarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara telah dilalui oleh warganya. Kondisi politik, struktur politik,
sistem ketatanegaraan serta perilaku politik warga Indonesia menjadi bagian
integral dari bentuk partisipasi masyarakat.
Selama orde baru negara membuat jarak yang cukup jauh
dengan masyarakat, keterlibatan masyarakat hanya menjadi prosedural dari sebuah
demokrasi. Dengan dasar stabilitas masyarakat harus tunduk dan tidak boleh
mencampuri urusan negara. dalam keadaan tersebut keterlibatan masyaraka dalam
kegiatan politik menjadi absurd dan
cenderung menjadi mobilisasi.
Namun pasca tumbangnya orde baru, keterlibatan masyarakat
mulai terbuka. Dalam era reformasi terjadi perubahan konstitusi yang membawa
perubahan perilkau warganya.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana partisipasi
politik masyarakat Kota Makassar dalam era reformasi
- Faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat dalam partisipasi politik
C. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif dengan sifat analisis diskriptif, Lokasi di Kota Makassar
dengan membagi masyarakat berdasarkan cluster. Masyarakat menengah di wakili
dari kecamatan Panakukkang dan Tamalenrea serta masyarakat Marjinal di wakili
dari kecamatan Biringkanaya. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan indeft interview bagi masyarakat yang dianggap bisa mewakili
kelompoknya. Selain itu data skunder diambil dari berbagai informasi yang
berkaitan dengan tema dalam bentuk dokumentasi baik berupa buku, jurnal maupun
dalam media cetak.
D. Tinjauan Pustaka
Partisipasi Politik
Partisipasi
politik dimakanai sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat
dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung maupun tidak langsung dalam
proses pembuatan kebijakan publik. Sementara itu Maran mengemukakan bahwa
partisipasi politik dimaksudkan sebagai usaha terorganisir oleh para warga
negara untuk memilih pemimpin-pemimpin mereka dan mempengaruhi bentuk dan
jalannya kebijakan umum.
Usaha ini dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap
kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu negara.
Sedangkan Huntington dan Nelson memberi batasan tegas
tentang partisipasi politik. bahwa hanya kegiatan warga negara preman (private
cirtizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah
yang dianggap sebagai partisipasi politik.
Dari pemahaman ilmuwan politik tersebut diatas maka dapat
dapat diambil beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian, bahwa
pertama, partisipasi politik merupakan
tindakan legal, dalam arti dilindungi oleh aturan hukum yang berlaku sehingga
merupakan sesuatu yang sah dan diterima dalam suatu negara demokratik.
Kedua, partisipasi politk berbeda dengan
sikap dan prilaku politik. Sikap politik merupakan
pysicological disposition dari pada seseorang, sementara prilaku
politik tidak selamanya berkaitan dengan tujuan yang jendak dicapai, sementara
itu partisipasi politk berkaitan erat usaha dari individu untuk mencapai
tujuan.
Ketiga, partisipasi merupakan
tindakan politik yang dialkukan oleh para warga masyarakat kebanyakan, bukan berkaitan
dengan tindakan politik yang dilakukan oleh para politisi profesional, seperti
tokoh politik, anggota lembaga perwakilan rakyat, dan tokoh kelompok
kepentingan.
Keempat, partisipasi
politik berkaitan erat dengan kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat yang bersifat mandiri, bukan kegiatan
yang bersifat seremonial ataupun digerakkan dari atas baik pemerintah maupun
elit lainnya
.
Dengan demikian maka partisipasi politik mencakup tidak
hanya kegiatan yang dilakukan untuk memepengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah yang berupa prilaku tetapi juga termasuk sikap warga negara dalam
menyikapi kegiatan pemerintah, baik oleh diri sendiri tetapi juga termasuk
kegiatan yang dilakukan oleh orang diluar diri sendiri sepanjang dimaksudkan
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang akan diambil dan dilakukan oleh
pemerintah.
Sifat Partisipasi
Politik: Mobilisasi versus Otonomi
Banyak kalangan yang tidak memberi
batasan sifat partisipasi politik antara partisipasi mobilisasi dengan
partisipasi otonomi. Bahkan ada beberapa ahli yang menganggap tindakan yang
dimobilisasi atau yang dimanipulasikan tidak termasuk partisipasi politik,
Myron Wiener
misalnya menekankan sifat
sukarela dari partisipasi, dengan mengemukakan argumentasi bahwa menjadi
anggota organisasi atau menghadiri rapat-rapat umum atas perintah pemerintah,
tidak ternasuk partisipasi politik. Selain Myron, beberapa ahli yang lebih
menfokuskan partisipasi politik hanya pada kegiatan politik yang sifatnya
mandiri, seperti McClosky, Almond, Norman H.Nie dan lainnya, mereka menganggap
bahwa partisipasi politik terbatas hanya pada kegiatan-kegiatan politik yang
dilakukan oleh pelaku politik atas inisiatif diri sendiri
Namun dalam fokus kajian ini penulis tidak memakai argumen
Myron Wiener dkk tersebut, dan cenderung sepakat apa yang dikemukakan oleh
Huntington dan Nelson, bahwa argumen yang dibangun Myron Wiener atau ahli lain
yang tidak menganggap mobilisasi sebagai bagian partisipasi politik, cenderung
mengesampingkan apa yang namanya partisipasi seremonial atau dukungan dimana
para warga negara mengambil bagian dengan jalan menyatakan dukungan pada
pemerintah.
Karena dalam fokus penelitian ini akan melihat bagaimana
melihat partisipasi warga negara dalam era reformasi, maka terdapat
argumen-argumen yang kuat untuk memasukkan dua kategori tersebut, yang
dimobilisasi dan yang sukarela, kedalam penjajagan yang luas mengenai pola-pola
partisipasi politik.
Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Bentuk-bentuk partisipasi politik
oleh banyak ahli dikategorikan dalam berbagai jenis. Namun kalau kita melihat
secara umum pada dasarnya terbagi dalam kategori konvensional dan non
konvensional seperti yang dibatasi oleh Almond
.
Partisipasi konvensional meliputi pemberian suara, aktivitas diskusi politik,
kegiatan kampanye, aktivitas membentuk dan bergabung dengan kelompok
kepentingan lain, dan komunikasi individu dengan pejabat politik dan
administratif. Sedangkan bentuk non konvensional, meliputi pengajuan petisi,
demontrasi, konfrontasi, pemogokan dan serangkaian tindakan kekerasan, seperti
kekerasan politik terhadap benda-benda, yang berupa perusakan, pemboman, dan
pembakaran, serta gerilya revolusi dan kudeta.
Sementara itu menurut Rafael bentuk-bentuk partisipasi
politik yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut : menduduki jabatan politik
atau administrasi; mencari jabatan politik atau administrasi; menjadi anggota
aktif dalam suatu organisasi politik; menjadi anggota pasif dalam suatu
organisasi politik; menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi-politik;
menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi semi-politik; partisipasi dalam
rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya; partisipasi dalam diskusi politik
informal serta partisipasi dalam pemungutan suara pemilu.
Bentuk partisipasi
tersebut dikenal dengan hierarki partisipasi politik, hierarki partisipasi
berlaku di berbagai tipe sistem politik. Tetapi arti masing-masing tingkat
partisipasi tersebut bisa berbeda dari sistem politik yang satu ke sistem
politik yang lain.
Ilmuwan lain, Huntington dan Nelson mengemukakan bahwa
partisipasi politik dapat terwujud dalam pelbagai jenis perilaku yakni, kegiatan
pemilihan, lobbyng, kegiatan organisasi, dan mencari koneksi. Sementara itu Ramlan Subakti yang membagi partisipasi
politik menjadi partisipasi aktif dan pasif.
Sebenarnya banyak kegiatan warga negara yang bisa
dikategorikan sebagai partisipasi politik, namun dalam kajian ini yang termasuk
dalam model dan bentuk partisipasi politik adalah hanyalah kegiatan warga
negara yang dilakukan baik secara bersama-sama ataupun kegiatan yang sifatnya
personal yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Faktor-Faktor
Berpengaruh dalam Partisipasi Politik
Beberapa kalangan yang mengatakan
bahwa faktor utama mendorong orang untuk melakukakan kegiatan politik atau
berpartisipasi adalah kepuasan finansial, bahwa status ekonomi yang rendah
menyebabkan seseorang merasa teralienasi dari kehidupan politik.
Hal ini sangat besar kemungkinan akan
dijumpai dalam penelitan ini, mengingat masyarakat Indonesia yang masih belum
mampu keluar dari krisis sebagai akibat resesi ekonomi global dan resesi
ekonomi nasional. Dengan keadaan masyarakat yang masih terkutak pada persoalan
perut, maka logika yang terbangun bahwa persoalan yang menyangkut tentang
politik masih dianggap bukan kepentingan mereka.
Selain itu, ada empat faktor utama yang mendorong orang
untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, pertama, karena adanya perangsang, maka orang mau berpartisipasi
dalam kehidupan politik. Dalam hal ini minat untuk berpartisipasi dipengaruhi
misalnya oleh sering mengikuti diskusi-diskusi politik melalui mass media atau
melalui diskusi informal; kedua,
karena faktor karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang berwatak sosial
pada umumnya, mempunyai kepedulian besar terhadap problem sosial, ekonomi,
dan lainnya, biasanya mau terlibat
aktivitas politik; ketiga faktor karakteristik sosial seseorang. Karakter
sosial menyangkut status sosial ekonomi, kelompok ras, etnis, dan agama
seseorang.
Selain faktor-faktor diatas yang menyebakan
orang akan berpartisipasi dalam kehidupan politik, terdapat faktor-faktor lain
seperti, syarat legal bagi suatu sistem pemilihan, sifat dasar sistem partai,
dan ciri kepemimpinan yang dikembangkan oleh suatu partai politik. Faktor-faktor
inipun mempengaruhi partisipasi orang dalam kehidupan politik. Syarat legal
yang bermacam-macam akan membuat orang enggang untuk berpartisipasi dalam suatu
aktivitas politk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum (electoral vote)
Partisipasi politik masyarakat dalam
pemberian suara di Kota Makassar cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dalam tabel 1 (Tabel Pemberian Suara). Kalau
melihat perbandingan di negara yang modernisasinya lebih maju justru
angka-angka tersebut melebihi untuk tingkatan pemilu seperti di Amerika yang
tiap kali dalam penyelenggaraan pemilu angka pemberian suaranya hanya mencapai
30%. Sedangkan kota Makassar pemberian suara tidak pernah mencapai angka
dibawah 80%.
Tabel 1. Pemberian Suara di Kota
Makassar
Tingginya pemberian suara di Kota Makassar sangat berbanding
lurus dengan angka golput. Golput di Kota Makassar sepanjang enam kali
penyelenggaraan pemilu hanya pada pemilu tahun 1997 yang mencapai prosentase
diatas 15 % lihat tabel 3 (Golput di Makssar) hal ini sebagai akibat dari mulai
kurang percayanya masyarakat pada pengelolaan negara dibawah kekuasan orde baru
yang makin menyuburkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (kokonep). Praktek kokonep di Kota Makassar sangat
menonjol dalam perekrutan CPNS dan pengisian pejabat struktural. Akibatnya pada
pemilu tahun 1997 yang sekaligus pemilu terakhir era orde baru, banyak
masyarakat yang mulai tidak percaya terhadap negara yang ditunjukkan melalui
pemberian suara. Pada pemilu tersebut angka golput mencapai 16,14%. Angka
tersebut merupakan golput tertinggi sepanjang pemilu di Kota Makassar. Namun
secara kesluruhan pemberian suara di Kota Makassar cukup tinggi.
Tabel 2 Golput di Makassar
Tingginya tingkat pemberian suara masyarakat Kota Makassar,
tidak ditentukan dengan sistem yang berlaku dalam konstitusi di Indonesia.
Perubahan undang-undang politik tidak berkolerasi posisitf dengan sikap
masyarakat Kota Makassar dalam pemberian suara. Hal ini berdasarkan pemberian
suara masyarakat Kota Makassar dari pemilu ke pemilu berikutnya. Tingginya
pemberian suara di Kota Makassar dari awal orde baru sampai reformasi tidak
menunjukkan perubahan yang berarti.
Pola partisipasi masyarakat Kota
Makassar hanya berkolerasi dengan kegiatan pemilu, seperti kegiatan dalam
aktivitas kampanye, keterlibatan dalam organisasi peserta pemilu, keterlibatan
dalam tim sukses calon anggota legislatif,DPD dan capres. Perubahan pola
partisipasi tersebut sebagai akibat semakin terbukanya akses masyarakat dalam
kegiatan politik, baik untuk menjadi anggota organisasi politik maupun sebagai
anggota partai politik. Kebebasan dalam mengartikulasi berbagai macam
kepentingan masyarakat dalam partai politik memberi peluang secara linier
terhadap perubahan sikap dan pola
partisipasi politik
Partisipasi Politik dalam Pelaksanaan Evaluasi
Dalam variabel ini akan kita melihat
bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan evaluasi, regulasi yang
telah dibuat oleh legislatif yang kemudian dijewantahkan oleh eksekutif
tentunya tidak sepenuhnya mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat, hal ini
dapat kita lihat bagaimana warga negara dalam menyikapi kebijakan yang akan dan
telah diambil oleh pemerintah.
Salah satu variabel yang dapat
dilihat disini adalah bagaimana warga negara menyampaikan aspirasinya. Penyampaian aspirasi sebenarnya
tidak dapat dijadikan sebagai variabel penentu dalam melihat bagaimana tingkat
partisipasi. Namun setidaknya dapat memberikan gambaran bagaiamana sikap
masyarakat terhadap suatu keputusan yang telah atau akan diambil oleh negara.
Untuk kota Makassar berdasarkan tabel penyampaian aspirasi.
(Tabel 3) terlihat keaktifan masyarakat Kota Makassar dalam menyikapi suatu
persoalan masih rendah secara keseluruhan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah (Balitbanda) Provinsi Sulawesi Selatan yang pernah mengadakan penelitian
di Kota Makassar tahun 2003 juga menemukan bahwa dalam tingkat kepedulian
Masyarakat dalam penyampaian aspirasi dalam bentuk demonstrasi sekitar 15%
.
Tabel 3. Penyampaian aspirasi masyarakat kota Makassar
No
|
Bulan
|
Tahun
|
Jumlah
Total
|
99/00
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
1
|
Januari
|
-
|
4
|
-
|
3
|
-
|
8
|
15
|
2
|
Februari
|
2
|
5
|
-
|
6
|
3
|
3
|
19
|
3
|
Maret
|
6
|
-
|
-
|
4
|
1
|
3
|
14
|
4
|
April
|
9
|
-
|
6
|
8
|
2
|
2
|
27
|
5
|
Mei
|
3
|
8
|
9
|
9
|
2
|
3
|
34
|
6
|
Juni
|
-
|
12
|
2
|
5
|
-
|
5
|
24
|
7
|
Juli
|
4
|
6
|
13
|
7
|
4
|
10
|
34
|
8
|
Agusutus
|
-
|
-
|
5
|
3
|
8
|
4
|
16
|
9
|
September
|
-
|
-
|
2
|
6
|
1
|
-
|
9
|
10
|
Oktober
|
5
|
11
|
11
|
3
|
7
|
-
|
37
|
11
|
November
|
-
|
-
|
5
|
4
|
2
|
-
|
11
|
12
|
Desember
|
-
|
2
|
-
|
2
|
8
|
-
|
12
|
|
Jumlah
|
29
|
48
|
53
|
60
|
38
|
38
|
252
|
Sumber: Humas DPRD Kota Makassar
Dengan demikian bahwa kategori partisipasi politik dalam
penyampaian aspirasi masih rendah. Tetapi dalam konteks tertentu masyarakat
mengalami penguatan dalam melakukan kontrol terhadap negara, seperti bulan Juni
2000, bulan Juli dan oktober 2003, bulan Juli 2004.
Pola dan Bentuk
Partisipasi Politik
Tingkat perhatian masyarakat terhadap
berbagai proses politik dalam berbagai tingkat aktivitas politik terbagi dalam
konteks nasional dan skala yang bersifat lokal. Pola partisipasi politik yang
pernah yang dilakukan masyarakat Kota Makassar dalam konteks nasional seperti
pemilu legislatif dan DPD serta pemilihan presiden. Sedangkan dalam skala lokal
adalah kegiatan yang dalam pemilihan Lurah, Walikota dan Gubernur walau pada
saat dilakukan penelitian ini, keterlibatan masyarakat masih dalam konteks penjaringan
bakal calon walikota atau gubernur, karena pemilihan untuk level tersebut masih
dilakukan oleh legislatif.
Namun keterlibatan masyarakat dalam
penjaringan sampai pada proses pemilihan menunjukkan espektasi yang luar biasa
dari masyarakat dibanding dengan masa
orde baru. Pada masa orde baru masyarakat bahkan tidak merasakan konstalasi
yang tinggi pada saat akan diadakan sampai pada pemilihan Gubernur dan
Walikota.
Setelah era reformasi tingginya espektasi
masyarakat bukan hanya dalam kegiatan pemilihan kepala daerah. Tetapi juga
dalam sektor lain. Dalam beberapa peristiwa masyarakat mulai berani
menyampaiakan semua persoalan yang mereka hadapai, bahkan masyarakt mulai
berani vis a vis terhadap negara
Keberanian
masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap negara setelah era reformasi
menjadi sebuah kemajuan dalam konsolidasi demokrasi. Di mana pihak rakyat tidak
lagi dijadikan komoditas para penguasa. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah
terjadinya ledakan partisipasi. Dalam
teori Paige bahwa partispasi bisa menjadi anarkhis bilamana menguatnya
posisi masyarakat terhadap negara sementara negara tidak mampu memberi respon
terhadap gejala penguatan posisi rakyat.
Di Kota Makassar euforia kebebasan
justru terjadi sebelum tumbangnya peguasa orde baru. dalam beberapa kasus
justru gerakan masyarakat menguat terhadap negara pada saat sebelum bangsa
Indonesia masuk dalam era reformasi, maka tidak mengherankan kalau Kota
Makassar pada saat terjadinya gerakan mahasiswa tahun 1995 yang disertai
pembataian etnis Tionghoa yang terjadi di ibukota, mendapat penjagaan ketat
dari aparat negara.
Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Partisipasi Politik
Pengaruh Pembangunan terhadap Partisipasi
Dalam kalangan pemerhati sosial
kemasyarakatan terdapat proposisi yang berlaku bahwa masyarakat tradisional
adalah non partisipan masyarakat modern partisipan. Dalam perkembangan
partisipasi tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan politik yang utama antara
masyarakat tradisional dan masyarakat modern terletak pada lingkup, intensitas,
dan landasan partisipasi politik. Di dalam masyarakat yang kompleks dan lebih
sejahtera, dengan tingkat industrialisasi dan urbanisasi yang tinggi, lebih
banyak orang terlibat dalam politik dibandingkan dengan sistem-sistem ekonomi dan
sosial yang masih terbelakang kurang berkembang.
Oleh sebab itu tidak mengherankan bila tingkat partisipasi
politik suatu daerah bervariasi sejalan dengan tingkat pembangunan dan kemajuan
ekonominya. Bukti-bukti silang-nasional dan longitudinal untuk mendukung
proposisi itu terlihat dimana-mana Hal
ini berlaku pula dalam Kota Makassar, dengan tingkat ekonomi masyarakat yang
heterogen, terdapat pula tingkat partisipasi politik yang beragam pula, dalam
kecamatan yang menjadi locus penelitian sangat kelihatan perbedaan dengan
karakter kecamatan dengan kehidupan warga negara yang tingkat kesejahteraannya
lebih baik juga mempunyai tingkat partisipasi yang lebih kompleks pula.
Dalam kecamatan dengan latar belakang ekonomi yang lebih
maju
terdapat kecenderungan bahwa partisipasi politik yang dilihat dari konteks
kognetif yakni pengetahuan masyarakat terhadap kegiatan negara, untuk Kota
Makassar cukup tinggi, hal ini berdasarkan temuan di lapangan bahwa masyarakat
cukup banyak mengetahui tentang kegiatan yang ada dalam lingkungannya tetapi
mereka terkadang enggan untuk mengikuti kegiatan yang menurut mereka, tanpa
kehadirannyapun kegiatan tersebut akan berjalan
Meskipun demikian secara afektif (keterlibatan secara
fisik, kehadiran, peran, sumbangan dalam kegiatan politik) masyarakat Kota
Makassar, kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan, seperti pengambilan
keputusan, pelaksanaan evaluasi, kecuali dalam pelaksanaan pemilu.
Sedangkan dari kecamatan dengan latar belakang ekonomi
rendah/masyarakat marjinal partisipasi secara kognetif kurang tinggi, hal ini
dikarenakan informasi dan keterbatasan dalam informasi yang mereka terima.
Selain itu, adanya pola pikir rendah dengan asumsi bahwa kegiatan politik bukan
menjadi prioritas mereka juga menjadi penyebab kurang terlibatnya mereka.
Tetapi dalam kegiatan secara fisik, sepanjang mereka dapat informasi dan punya
ketersediaan waktu, keterlibatan mereka cukup tinggi.
Pengaruh Perubahan
Sistem Terhadap Pola Partisipasi Politik
Bagi masyarakat Kota Makassar
perubahan tersebut terlihat dari pola partisipasi arahan (mobilisasi)
berangsur-angsur menjadi partisipasi otonom. Hal ini terjadi disebabkan karena
sikap dan pandangan masyarakat yang sudah mulai berubah (vision of change). Masyarakat Kota Makassar sudah mulai terbangun
sebuah kesadaran bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, dengan
masyarakat yang dikenal dengan ketaatan dalam menjalankan agama, mereka
berkeyakinan tanpa usaha maka perubahan niscaya akan terjadi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tim Balitbangda Prov
Sul-Sel tahun 2003 dikemukakan bahwa Masyarakat Kota Makassar dalam melakukan
kegiatan politik didasari oleh keinginan masyarakat untuk melihat perubahan
yang terjadi dalam bangsa dan negara ini (Tabel 4; Sikap Politik Masyarakat
Kota Makassar dalam Partisipasi Politik).
Sumber Balikbangda 2003
Kesadaran sendiri tanpa mobiliasi dari penguasa menjadi
point tertinggi dalam penelitian tersebut Data tersebut membuktikan bahwa
kesadaran masyarakat mulai meningkat, seiring dengan perubahan yang terjadi
dalam bangsa Indonesia, sangat berbeda dengan masa sebelumnya pada saat
penguasaan orde baru, keterlibatan masyarakat dalam aktivitas politik masih lebih banyak karena mobilisasi dari
pemerintah. Masyarakat berpartisipasi karena adanya ketakutan-ketakutan akan
konsekwensi yang akan diterima
masyarakat bilamana tidak terlibat dalam kegiatan negara.
Upaya dalam Menumbuhkan Partisipasi Politik
Posisi masyarakat yang lemah terhadap negara
selama orde baru, harus lebih ditingkatkan dengan memberi porsi dan kesempatan
yang luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai kegiatan serta
aktivitas politik. Untuk Kota Makassar keterlibatan secara kognitif yang tinggi
harus dibarengi dengan keterlibatan secara aktif. Negara/pemerintah Kota
Makassar menurunkam privilese terhadap masyarakat. Praktek negara yang selama
ini menciptakan jarak dengan masyarakat harus direform.
Negara hendaknya tidak melakukan kontrol yang
sangat ketat terhadap masyarakat,
sehingga masyarakat dapat melakukan kreasi dan inisiasi terhadap pemgembangan
daerahnya, sepanjang dalam koiridor
normal. Kondisi koorparatisme yang dengan sengaja dibentuk oleh orde
baru, semoga tidak terjadi lagi dalam era reformasi, karena keadaan tersebut tidak
saja melemahkan kontrol masyarakat terhadap negara, tetapi juga masyarakat mengalami alienasi dalam kegiatan negara.
Negara yang dalam melakukan fungsi public
service yang diwakili oleh birokrat sebaiknya tidak mengambil jarak dengan
masyarakat, sehingga antara yang dilayani dan melayani jelas terlihat pola
hubungan yang ideal. Masyarakat yang enggan untuk berpartisipasi selama ini
bukan semata-mata berasal dari dalam diri masyarakat sendiri tetapi juga karena
sistem yang ada dalam lingkungannya menciptakan keadaan sehingga masyarakat tidak
terlibat dalam kegiatan negara.
Kesimpulan
Partisipasi politik secara afektif
(keterlibatan secara fisik, kehadiran, peran, sumbangan dalam kegiatan politik)
masyarakat Kota Makassar, kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan, seperti
pengambilan keputusan, pelaksanaan evaluasi, kecuali dalam pelaksanaan pemilu.
Untuk pelaksanaan pemilu keterlibatan masyarakat Kota
Makassar cukup tinggi terutama dalam pemberian suara, dan tidak punya korelasi
posisitif terhadap perubahan sistem. Tetapi dalam hal penyampaian aspirasi dan
evaluasi punya korelasi positif walaupun tidak besar.
Terjadinya pola dan model partisipasi masyarakat Kota
Makassar dipengaruhi oleh beberapa faktor; pertama,
pembangunan, dengan tingkat perekonomian dan penghidupan masyarakat yang beragam,
mempunyai korelasi dengan model dan bentuk partisipasi masyarakat. Kedua, perubahan sistem, dengan
perubahan sistem ketatanegaraan yang terjadi pada era reformasi, partisipasi
politik masyarakat Kota Makassar, partisipasi yang semula hanay sebagai arahan
berangsur-angsur menjadi otonom. Ketiga,
kesadaran, masyarakat mulai muncul kesadaran dalam melakukan kegiatan negara
sehingga model dan bentuk partisipasi politik sudah mengarah lebih baik, walau
terkadang keterlibatan masyarakat masih dalam preferensi mereka.
Rekomendasi
Negara hendaknya tidak melakukan kontrol yang
sangat ketat terhadap masyarakat,
sehingga masyarakat dapat melakukan kreasi dan inisiasi terhadap pengembangan
daerahnya, sepanjang dalam koiridor
normal. Kondisi koorparatisme yang dengan sengaja dibentuk oleh orde
baru, semoga tidak terjadi lagi dalam era reformasi, karena keadaan tersebut
tidak saja melemahkan kontrol masyarakat terhadap negara, tetapi juga
masyarakat mengalami alienasi dalam
kegiatan negara.
Negara yang dalam melakukan fungsi public service yang diwakili oleh
birokrat sebaiknya tidak mengambil jarak dengan masyarakat, sehingga antara
yang dilayani dan melayani jelas terlihat pola hubungan yang ideal. Masyarakat
yang enggan untuk berpartisipasi selama ini bukan semata-mata berasal dari
dalam diri masyarakat sendiri tetapi juga karena sistem yang ada dalam
lingkungannya menciptakan keadaan sehingga masyarakat tidak terlibat dalam
kegiatan negara.
Bagi
masyarakat, dengan perubahan yang terjadi dalam sistem tata pemerintahan,
hendaknya tidak digunakan dalam kerangka penguatan yang mengarah pada
terjadinya pembangkangan terhadap negara (civil
disobelience)
Untuk menghindari terciptanya konstelasi negara-masyarakat
yang menghambat konsilidasi demokrasi dalam era reformasi, maka diperlukan
sebuah perubahan yang tidak hanya dalam negara, tetapi masyarakat juga perlu
ikut direformasi dengan cara memberikan pencerahan melalui civic educatian.
terimakasih, postingannya sangat membantu
Thanks Violita, terus menulis dan berbagi