Minggu, 09 Mei 2010

Mungkinkah Gerakan Facebookers Menjadi People Power


Munculnya gerakaan sosial yang menggunakan jejaring sosial lewat facebook dianggap sebagai bentuk akumulasi distrust masyarakat terhadap negara. Gerakan tersebut walau sudah lazim bagi negara maju tetapi menjadi fenomena baru dalam sistem politik Indonesia. Sampai saat ini sudah lebih 1juta facebookers “cicak = cinta Indonesia cinta KPK“ sebutan bagi warga negara dalam dunia maya menyampaikan aspirasi yang mendukung pimpinan non aktif KPK Chanda Marta Hamzah dan Bibit Samad Rianto, yang seolah-olah di“kriminalisasi” oleh Polri. Gerakan yang bermula dari sejuta facebokers di dunia maya dibarengi dengan gerakan nyata dalam berbagai bentuk di berbagai daerah. Mulai dari aksi damai dengan membagikan bunga, parade musik sampai pada aksi gerakan Indonesia sehat bebas korupsi.

Dalam gerakan rakyat tersebut muncul aksi menarik ketika Adji Masardie memunculkan satiran hadits tentang perlunya suatu kelompok melakukan gerakan perubahan. Bilamana terjadi kesewenang-wenangan dimuka bumi maka lakukanlah revolusi, bila tidak mampu melakukan revolusi lakukan demonstrasi, bila demostrasi juga tidak bisa, maka lakukanlah diskusi, tapi itulah selemah-lemahnya iman. Satiran hadits tersebut ditujukan seluruh rakyat Indonesia untuk perlunya melakukan suatu gerakan revolusioner dan masif dalam menyelesaikan persoalan KPK-Polri agar tidak meluas menjadi persoalan yang lebih besar.
Tulisan ini akan mencoba melihat dan menganalisa bagaiman fenomena penyampaian aspirasi lewat dunia maya tersebut terhadap sistem politik dan kemungkinan gerakan tersebut nantinya akan membawa pada people power, mengingat awal munculnya gerakan tersebut ditenggarai karena adanya sebuah “skenario besar” dibalik perseteruan KPK-Polri.

Facebookers versus Legislatif
Berbagai kalangan menilai pemberian aspirasi dengan menggunakan jejaring sosial lewat facebook ataupun twiter merupakan bentuk kegagalan lembaga legilsatif dalam proses agregasi maupun sebagai sarana artikulasi kepentingan warga negara. DPR sudah tidak mendapat tempat dihati nurani rakyat dalam penyampaian aspirasi. DPR sebagai kekuatan politik formal dalam strukutur politik justru dikalahkan oleh kekuatan jejaring sosial semisal facebook. Mengapa kondisi ini muncul? Ini tidak lepas dari prilaku politik anggota DPR yang tidak cepat respon dan tanggap pada dinamika politik warga negara. 


Saat espektasi masyarakat yang begitu tinggi terhadap lembaga KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia yang dikenal sebagai negara terkorup, justru anggota DPR berprilaku sebaliknya. DPR lewat komisi II yang membidani bagian Hukum tidak mampu membuat logika kritis terhadap Polri mengenai kasus yang menimpa pimpinan non aktif KPK pada saat rapat dengar pendapat dengan Petinggi Polri. Bahkan Anis Basweden (anggota Tim 8) menilai justru DPR malah menjadi humas Polri dan mendukung langkah Polri dalam meneruskan proses hukum pimpinan Non Aktif KPK, artinya seolah menantang rekomendasi dari Tim Independen bentukan presiden yang bertugas mencari fakta atas persoalan yang menimpa Chandar-Bibit yang menghendaki untuk tidak diteruskan dengan alasan tidak cukup bukti dan terjadi missing link.
Sejatinya DPR sebagai lembaga representatif suara rakyat ikut menjadi lembaga artikulasi bagi kepentingan dan suara rakyat, bukan sebagai corong lembaga naungan eksekutif apalagi sebagai lembaga perpanjangan tangan eksekutif. Kalau ini yang terjadi, maka kita melangkah mundur lagi saat pada rejim orde baru berkuasa.

Facebookers dan People Power
Akhir-akhir ini muncul pertanyaan dibenak publik, bahwa mungkinkan gerakan yang dimulai dari facebook akan mendorong terjadinya people power sebagaimana yang terjadi pada tahun 2008? Untuk mendapat jawaban tersebut tidak perlu mengajukan pertanyaan yang berifat falsifikasi. Karena untuk sampai kepersoalan tersebut, maka yang utama diberikan jawaban adalah seberapa besar pengaruh facebookers terhadap 150juta warga negara Indonesia serta para pemangku kepentingan (Parpol, anggota DPR, mahasiswa LSM, dsb). Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dampak bagi kelangsungan negara Indonesia bilamana pemerintahan sekarang SBY-Budiono dilengserkan?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, tergantung dari dinamika yang berkembang akhir-akhir ini. Namun bilamana mencermati dinamika dan kontalasi politik, gelinding bola panas pertikaian KPK - Polri - Kejagung semakin kuat bahkan mengarah ke Kasus Bank Century. Hingga kini sudah 210 anggota DPR minus the ruling party yakni Demokrat yang mengajukan hak angket. Sementara di tingkat publik, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan SBY yang dinilai tidak tegas dan hanya bermain wacana mengalami penurunan signifikan, berdasarkan survey LSI popularitas SBY turun sampai 64 %. Akankah SBY kembali akan mengatakan I dont care seperti saat popularitasnya menurun pada awal kepemimpinannya pada periode pertama sebagai RI1.
Namun mencermati peroalan saat ini, sepertinya SBY harus mengatakan I must care walaupun beberapa analisis mengatakan bahwa kekuatan demonstrasi dan suara panas tokoh masyarakat bukanlah ancaman terbesar bagi SBY. Walau bila melihat komposisi susunanan Kabinet Indoensia Bersatu jilid II yang hanya mengisakan PDIP, Hanura dan Gerinda cukup kuat, tetapi harus waspada karena koalisi yang terbangun selama ini tiba-tiba bisa bubar sebagaimana ciri utama koalisi yang bersifat pragmatis. Selain itu ada kekuatan lain sewaktu-waktu menjadi ancaman yakni kekuatan di tubuh militer, mengapa? Pengangkatan mendagri dan Kepala BIN yang selama ini menjadi “jatah” militer kini diberikan kepada sipil dan polisi. Selain itu mencermati perang antar jendral saat pilpres beberapa bulan yang lalu, membuktikan bahwa kekuatan militer “anti SBY” masih ada pada tubuh TNI. Maka SBY begitu sensitif dengan pergerakan ini sehingga orang-orang yang dirasa tidak loyal akan dimutasikan dari jabatan-jabatan strategis. Penggantian Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara baru-baru ini bisa menjadi sinyal kekhawatiran SBY tehadap kekuatan tersebut.
Meskipun begitu, kekuatan civil society tak bisa diremehkan. Kita melihat gerakan reformasi 1998 telah berhasil menurunkan rezim ORBA yang sudah berkuasa selama 30-an tahun. Tentu sangat mungkin kekuatan ini melengserkan SBY yang baru memasuki awal-awal kepemimpinan periode kedua jika tidak mampu keluar dar persoalan yang kini semakin melebar tersebut. Rekomendasi tim bentukannya (Tim 8) yang memerlukan satu pekan untuk menindaklanjuti justru semakin memberi jawaban kalau selama ini SBY tidak bisa cepat dan tepat dalam mengambil tindakan. Padahal publik sudah lama menunggu sikap dan tindakan kepala negara dan kepala pemerintahan dalam menyelesaikan persoalan yag melanda republik ini.
Sedangkan dalam melihat pertanyaan kedua, mungkingkan SBY-Boediono dilengserkan, maka agaknya cukup riskan jika gelombang massa dibawa pada wacana ini. Mengapa? Selain mengantisipasi tikungan menohok dari MILITER yang sudah menunggu di simpang jalan, kita harus kalkulasi biaya yang harus ditanggung rakyat bilamana SBY dilengserkan.
Selain saat ini harus diakui kita tidak punya tokoh kharismatik untuk mengawal perubahan-perubahan politik jika itu terjadi. Kalaupun ada, maka pengalaman 1998 cukup menjadi bukti bahwa reformasi yang meninggalkan kursi kepresidenan akan meninggalkan bumerang yang pada akhirnya menjadi senjata makan tuan. Maksudnya adalah ketika reformasi ataupun sebuah revolusi berhasil melengserkan rezim, maka sumber daya pro reformasi/reformasi harus disiapkan sedini mungkin untuk mengantikan orang-orang lama yang berpikiran konservatif.
Karena kelemahan reformasi 1998 yang saat ini sudah berjalan selama 10 tahun adalah ketidakmampuan tokoh-tokoh reformasi menduduki posisi strategis dan mengambil hati rakyat. Kalaupun aktor-aktor reformasi ada yang menduduki posisi strategis, tetapi tidak mampu menjalankan agenda reformasi yang mereka usung selama perjuangan dalam menumbangkan era otoritarian. Akibatnya walau rejim orde baru sudah tumbang tetapi rakyat belum merasakan dampak signifikan terhadap perubahan dan pergantian kepemimpinan tersebut sehingga muncul semacam romantisme masa lalu bahkan oligarkhi serta otoritarianisme kekuasaan yang memberikan “kesejahteraan” justru semakin dirindukan.


1 Komentar:

  • Forester says:
    25 November 2012 pukul 10.44

    bagus sekali ulasannya pak.. http://forester-untad.blogspot.com/