Kamis, 16 April 2015

Kearifan Lokal dan Politik Sulawesi Tengah

Refrensi local wisdom khususnya di Sulawesi Tengah belum banyak berkontribusi terhadap “kekayaan” kahasanah budaya nusantara apalagi dalam ilmu politik. Hal ini terjadi karena kurangnya publikasi dan minat peneliti untuk mendalami tema-tema lokal khususnya Sulawesi Tengah. Riset dan kajian selama ini lebih banyak mengarah pada tema resolusi konflik terutama pasca konflik Poso di awal tahun 2000-an. Padahal cukup banyak konsep dan petuah-petuah lokal yang bisa dijadikan sebagai local wisdom di Sulawesi Tengah. 
 
Sebelum John Locke (1632-1704) mengeluaran Two Treatises of Government (1690) dan Montesquie (1689-1755) dengan Spirits of the Laws (1748)  yang kita kenal dengan konsep trias politica dipelajari dalam Sistem Politik Indonesia, di Luwuk sudah mengenal konsep Basalo Sangkep yang menghendaki agar kekuasaan tidak berada pada satu lembaga atau kelompok. Basalo merupakan lembaga yang mengangkat sekaligus sebagai pengawas raja dalam melaksanakan tugasnya. Basale Sankep terdiri 4 elemen

Di Kulawi Kabupaten Sigi atau di sekitar dataran tinggi Sulawesi Tengah dikenal konsep Bantaya yang mungkin memiliki kemiripan dengan meritokrasi seperti yang dikehendaki Aristoteles yakni dengan memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan untuk menjadi pemimpin tidak berdasar pada populer vote atau one man one vote one value.

Selain itu terdapat semboyang bahkan nilai-nilai kearifan lokal yang bisa dijadikan sebagai kohesi sosial. Semisal Sintuwu Maroso yang dijadikan sebagai perekat sosial bilaman terjadi konflik. Di Kota Palu sangat terkenal dengan konsep Nosarara Nosabatutu atau lebih lengkapnya “Polibu Ntodea Nosarara Nosabatutu” yang merupakan sebuah konsep kebijakan yang telah dibangun dan dipedomani oleh To kaili sejak berabad-abad lampau. Polibu Ntodea Nosarara Nosabatutu adalah suatu rangkaian dalam pengambilan keputusan yang melibatkan orang banyak atau seluruh komponen masyarakat kota Palu, dalam filosofi yang terkandung dalam local wisdom tersebut juga sebagai bagian dalam  merajut ikatan kekeluargaan sebagai dasar bangunan sosial politik yang kuat, selain itu juga berimplikasi terhadap pembinaan sosial ekonomi dan budaya

Namun local wisdom seperti itu belum terpublikasi dengan baik bahkan cenderung agak sulit lagi ditemukan dalam bentuk dokumentasi. Berangkat dari heteroginitas dan kekayan khasanah masyarakat Sulawesi Tengah tersebut mengilhami untuk mempublikasikan hasil kajian mahasiswa Ilmu Pemerintahan yang memprogramkan mata kuliah Pemeritahan dan Politik Lokal dalam bentuk prosiding. Prosiding ini hadir tidak secara instan tapi melalui serangkaian proses, mulai dari pencarian tema, kemudian dilanjutkan dengan penulusuran data pendukung dari yang sudah terpublkiasi sampai pada data yang hanya dari sumber primer melalui interview narasumber yang dianggap mengetahui masalah yang diangkat.

Local Wisdom di Sulawesi Tengah
Menurut Mattulada dalam James S Davidson, (2010;348) bahwa di Sulawesi Tengah pada umumnya orang menganggap terdapat 12 kelompok etnik yang berdasarkan pengelompokan bahasa dan nama tempat pemukiman yaitu Kaili, Tomini, Pamona, Lore, Mori, Bungku, Saluan, Balantak, Banggai, Toli-Toli dan Buol.

Namun dalam prosiding ini kami hanya membahas 11 local wisdom dan politik local yang ada dalam etnik di Sulawesi Tengah tersebut yakni : Kota Palu dengan Nosarara Nosabatutu seperti dijelaskan secara ringkas diatas, kemudian Suku Pamona dengan Sintuwu Maroso; Etnis Lore dengan konsep Pakaroho Pohintuvu, Buol dengan Pakaroho Pohintuvu; Saluan dengan Imbo Momposaanggu Lima Mombangun  Tano; Suku Balantak dengan Rumpun Pitu Bense Pokok Bondolong; Suku Lauje dengan Sombo, Ponombo, Sinombo; Suku Mori dengan Koa Luwu Mepae Kompo; Suku Bungku dengan Tepeasa Moroso;  Toli-Toli dengan konsep Motongolipu Motimpedes Magau; Suku Banggai dengan Montolutusa; memang disadari bahwa ada beberapa local wisdom tersebut hanyalah sebagai simbol yang dipakai oleh Pemerintah setempat dalam menggelorakan sprit pembangunan.

Selain local wisdom kami juga menghadirkan konfigurasi politik masing-masing etnik dan bagaimana pengaruh mereka dalam dinamika politik di Sulawesi Tengah, penyebutan nama dan peran mereka tidak bermaksud untuk mengkultuskan atau menjadikannya sebagai aristokrasi lokal yang bersifat heavy tetapi hanya sekedar melihat kontribusi dan peran mereka dengan bakcground etnik dalam dinamika politik Sul-Teng, dan juga tidak untuk membuat berhadapan secara vis a vis antara etnik yang satu dengan etnik yang lainnya.

-------------
Ket.  Pengantar dalam Prosiding Local Wisdom dan Politik Lokal Sulawesi Tengah, 
        Prosiding dapat dibaca di Perpustakaan FISIP Untad

Foto : republika.co.id

0 Komentar: