Dasar Pemikiran
Perdebatan
yang menjadi aktual dalam dekade pasca tumbangnya era otoriterian orde baru
adalah negara dan masyarakat. Posisi dua term ini menjadi begitu hangat dan
menarik bukan hanya dalam negara ketiga seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara
yang modernisasi telah maju.
Negara dan
masyarakat menjadi suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, berbicara tentang
negara pasti tidak terlepas dari masyarakatnya. Bahkan dalam perspektif
strukturalis dan behavioralis menempatkan keduanya dalam kajian utama.
Masyarakat sebagai aktor, mempunyai peranan dalam menentukan arah dan langkah
sebuah negara. Tetapi negara sebagai institusi juga berperan dalam penentuan
proposisi masyarakat.
Bagi bangsa
Indonesia masyarakat sebagai aktor belum mampu memberi warna dalam kehidupan
negara, peranan negara begitu kuat mendominasi masyarakat, sehingga masyarakat
menjadi alat dominasi negara. Ketelibatan masyarakat dalam kehidupan negara menjadi suatu yang absurd. Peranan masyarakat terutama
dalam aktivitas politik hanyalah sebagai obyek negara.
Dalam negara berkembang, sifat kepemimpinan politiknya masih
lebih banyak ditentukan oleh segolongan elit penguasa, keikutsertaan warga
negara dalam penentuan kebijakan yang menentukan kehidupan bangsanya relatif
masih kecil, warga negara yang kebanyakan dari
grass root dan masyarakat
periperyal
cenderung tidak diperhitungkan dalam proses politik.
Konsep Relasi Negara dan Masyarakat
Negara
Banyak
teori yang bisa dipakai dalam menggambarkan tentang konsep negara, tetapi dalam
konteks ini hanya beberapa yang kita gunakan dalam acuan ini. Karena tidak
semua konsep negara bisa relevan dengan watak negara Indonesia dalam era
reformasi. Kondisi negara dalam era reformasi tidak dapat dijelaskan hanya
dengan merujuk pada salah satu teori negara saja, tetapi juga tidak bisa semua
konsep negara juga bisa dipakai, ada bagian-bagian tertentu dalam karakter
negara bisa menunjukkan berlakunya salah satu teori, tetapi bagian-bagian lain
dari dinamika relasi negara-masyarakat tidak diungkapkan oleh teori yang sama,
adalah suatu yang tidak sederhana untuk menentukan teori yang mana bermanfaat
dalam menganilis posisi dan dinamika suatu negara yang kompleks mengalami
berbagai perubahan seperti dalam kasus negara Indonesia.
Teori negara
pluralis dan teori negara yang dikemukakan oleh Eric A. Nordlinger sekiranya
bisa memberi gambaran yang jelas tentang fokus kajian kita nantinya. Kedua teori negara ini relatif relevan dipakai
dalam menjelaskan dinamika dan posisi negara dalam era reformasi, terutama
kalau kita akan melihat negara dalam konteks partisipasi politik warga
negaranya. Konsep negara pluralis bisa dipakai untuk melihat pluralitas
kekuatan politik dalam kompetisinya berebut kekuasaan serta bagaimana para elit
melibatkan masyarakat dalam merebut kekuasaan serta memberdayakannya. Sedangkan
dalam teori negara Nordlinger berguna untuk melihat karakter negara pada era
reformasi.
Terdapat dua
postulat penting dalam teori negara pluralis. Pertama, negara merupakan
institusi mandiri, keberadaan negara hanya merupakan alat yang netral dari
kekuatan-kekuatan sosial yang ada di masyarakat untuk menduduki kekuatan.
Kedua, setiap kekuatan di masyarakat saling berlomba untuk memegang kekuasaan
lembaga negara.
Bagi bangsa Indonesia
dalam era reformasi postulat pertama pada prkateknya bukanlah institusi yang
tidak mandiri dan netral. Aktor-aktor negara yang duduk di institusi-institusi
kekuasaan negara mempunyai kepentingan dan prefrensi sendiri-sendiri. Mereka
membuat negara menjadi mandiri terhadap pengaruh atau tekakanan masyarakt yang
berseberangan dengan kepentingan dan prefrensi mereka. Karenanya, negara juga
tidak netral terhdap semua kelompok dalam masyarakat manakalah ada suatu
kelompok yang berkempentingan dan preferensinya sesuai dengan aktor-aktor ini.
Berdasarkan
postulat yang terakhir negara adalah ajang pertarungan antara kekuatan-kekuatan
sosial masyarakat dalam perebutan kekuasaan. Akibatnya terjadi rotasi pemerintahan
kekuasaan institusi-institusi negara, bahkan dalam tempo yang singkat terjadi
pergantian kekuasaan.
Sementara
teroi negara pluralis sangat menekankan sistem politik yang terbuka dan
demokratis, dan memungkinkan kelompok-kelompok sosial bersaing menduduki
negara. Prosedur politik untuk mewujudkan semua hal ini adalah pemilu.
Mekanisme pemilu berkala dan dan dmokratis selalu membuka persaingan antara semua
kelompok dalam menguasai institusi negara, juga mencegah termanifestasinya
anarkisme dalam kompetisi dan konflik menguasa negara.
Karakter
negara bisa diketahui dengan melihat derajat otonomi negara serta dukungan
masyarakat terhadap negara, apakah tinggi, moderat atau malah rendah.
Nordlinger menggolongkan empat tipe negara, yakni negara kuat, negara independen,
negara responsif dan negara lemah. Negara kuat adalah negara yang tingkat
otonomi dan dukungan masyarakat tinggi. Negara bertindak berdasar preverensinya
dan masyarakat selalau mendukung tindaka-tindakan itu. Negara independen yaitu
negara yang tingkat otonominya tinggi namun dukungan masyarakatnya rendah. Negara
responsif adalah negara yang derajat otonominya rendah tapi dukungan masyarakat
tinggi. Sedangkan negara lemah adalah negara yang derajat otonomi dan dukungan
masyarakat rendah.
Masyarakat
Masyarakat
yang akan kita kemukakan dalam kajian ini merujuk pada konsep civil society, karena secara umum
masyarakat yang menurut sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji secara
khusus, lebih menekankan pada konteks masyarakat yang lebih luas, sementara
dalam kajana ini akan melihat secara spesifik yakni dalam konteks civil societynya.
Makna civil society dari perjalanan waktu
masuk dalam wacana ilmiah mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Pada abad 18 di Eropa civil society dianggap sama dengan pengertian negara. Bahkan Hobbes
dan Locke mengartikan sebagai tahapan evolusi dari natural society. Hobbes melihat sebagai peredam konflik antar
individu dalam masyarakat supaya tidak saling menghancurkan. Sementara Locke
bertolak dari paham kebebasan individu dan jaminan perlindungan hak milik
pribadi. Memasuki pertengahn abad 18,
maknanya mulai dibedakan dari negara.
Adam Ferguson termasuk diantara pemikir yang sudah menempatkan civil
society dalam ranah yang berbeda dengan negara. Dalam buku An Essay on the History of Civil society, Ferguson memaknai civil society sebagai suatu masyarakat
yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup kuat mengimbangi kekuasaan
negara, sehingga terhindar dari dominasi dan depostisme negara.
Konsep
civil society mungkin tampak sederhana,
namun secara historis ia merupakan gagasan yang berbelit-belit dan sukar
dimengerti. Dawan Rawarjo menginventarisir tiga bentuk pengertian
civil society. Pertama,
civil society adalah suatu masyarakat
politik yang mempunyai lembag-lembaga (negara dan partai politik), tatanan
hukum (
legal code), tatanan sipil (
civil code), dan budaya kota (
urban civility). Kedua,
civil society merupakan kolektifitas
yang berbeda dengan negara.
Civil society
adalah tatanan, aturan dan kelembagaan yang terpisah atau berada di luar
negara. Ketiga,
civil society dilihat identik dengan
masyarakat
borjuis. Hal ini didasari
kenyataan bahwa yang membentuk negara itu
Dalam konteks
ini kita akan menggunakan konsep civil
society secara eklektik dan dalam konteks demokrasi, namun tetap berpijak
pada pembedaan negara dan civil society
sebagai dua entitas yang harus terpisah. Kita bertolak dari proposisi bahwa
negara dan masyarakat adalah dua entitas yang saling mempengaruhi satu sama
lain.
Relasi Negara dan Masyarakat
Dalam melihat
negara dan masyarakat kita akan merujuk pada pandangan negara pluralis. Menurut
pandangan pluralis negara berasal dari persinggungan berbagai kepentingan dalam
masyarakat yang pada gilirannya mencapai titik
ekuilibirium. Logika bepikir dalam konteks ini sudah dipahami
dengan asumsi telah tumbuhnya
civil
society yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara. Asumsi yang
mendasarinya adalah setiap warga negara memiliki akses yang sama dalam
mempengaruhi kebijakan-kebijakan
negara
Bila negara
dikuasai oleh oleh suatu kelompok masyarakat tertentu, adalah logis bila negara
memberikan pelayanan masyarakat tersebut. Akan tetapi, negara tetap tidak dapat
semena-mena menindas kepentingan kelompok lain yang tidak berkuasa. Negara
tetap membutuhkan dukungan kelompok tersebut untuk memperteguh dan melestarikan
kekuasaan dalam jangka panjang.
Negara bukan
sekumpulan nilai moral absolut melainkan wahana pertarungan politik tempat setiap
kekuatan politik dalam masyarakat saling bersaing menguasai negara. Disini
negara berada dalam posisi yang netral karena ia melayani dan mengakomodasi
seluruh kepentingan.
Namun untuk
melihat lebih jauh tentang hubungan negara-masyarakat kita mencoba memakai
teori struktur dan agensi dalam perspektif Gidden.
Struktur (negara) dan agensi (masyarakat)
dipandang sebagai dualitas, keduanya berhubungan secara dialektik, dalam arti
struktur dan agensi saling mempengaruhi dan berlangsung secara terus menerus,
agensi dapat meninggalkan struktur dan tidak selalu tunduk kepadanya. Agensi
dapat menemukan kesempatan atau kemungkinan keluar dari aturan tertentu yang
baku yang oleh Gidden disebut sebagai
dialectic
of control yaitu kemampuan agensi dalam melawan kontrol dari struktur
. Dalam
konteks ini negara yang mengontrol ketat warganya tidak berarti masyarakat
tidak kehilangan celah sama sekali untuk keluar dari kontrol negara tersebut.
Kreatifitas dan logika masyarakat akan mampu menciptakan ruang bebasnya sendiri,
meski mungkin tidak bersifat frontal dan opoposional. Selanjutnya dalam melihat
hubungan ini, kita akan melihat aktivitas manusia dengan dunia global yang oleh
Gidden disebut sebagai
social practice.
Konflik antara
negara dan masyarakat dipicu oleh tarik menarik
surveillance (pengawasan) yang dilakukan negara dengan hak warga
yang dimiliki masyarakat. Hak warga yang terdiri dari kebebasan, hak untuk
memilih, hak mendapatkan pekerjaan yang layak bila tidak dipenuhi oleh negara
maka bisa menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap negara
.
Relasi Negara-Masyarakat dalam
Konsolidasi Demokrasi
Dalam pembahasan
sebelumnya telah dikemukan karakterisitik negara. Negara kuat adalah negara
yang memiliki derajat otonomi dan dukungan masyarakat yang tinggi, sedangkan
negara independen adalah negara yang memiliki derajat otonomi tinggi dan
dukungan masyarakat rendah.
Negara
(pemerintah Kota Makassar) dalam era reformasi memiliki derajat otonomi dan
dukungan masyarakat yang besar. Pada masa pemerintahan Walikota Amirruddin
Maulana 1999-2004, negara memiliki derajat otonomi tinggi karena munculnya
espektasi dan optimisme masyarakat terhadap figur walikota yang diharapkan
memberikan perubahan dalam Kota Makassar. Ditunjang oleh dukungan anggota
legislatif yang mengusung walikota dari fraksi Golkar yang memiliki jumlah
anggota 38 atau sekitar 89 % dari jumlah
angota DPRD Makassar.
Selain itu
penguatan posisi negara dapat kita lihat dengan pogram pemeliharaan lingkungan
yang dikenal dengan juma’t bersih
yang digalakkan, mendapat apresiaisi yang memadai dari masyarakat, walaupun ini
hanya slogan semu dalam pemberdayaan tapi masyarakat memberi dukungan riil
kepada negara.
Namun seiring
waktu posisi negara mulai melemah hal ini tampak dalam berbagai kesempatan
terlihat masyarakat sudah mengalami devriasi, ditambah dengan akan berakhirnya
periode Amiruddin Maula tahun 2004-2009. Disini posisi Amiruddin Maula menjadi
lemah karena Maula sudah tidak dicalonkan lagi oleh partai Golkar sebagai
pemenang pemilu di Kota Makassar, Golkar sendiri mencalonkan ketua DPD Kota
Makassar yakni Ilham Arief Sirajuddin sebagai calon Walikota Makassar periode
2004-2009.
Keadaan
tersebut membuat negara kembali ke posisinya menjadi negara independen, dimana
keinginan masyarakat sudah tidak menjadi prioritas dalam penentuan arah kebijakan,
terutama yang dilakoni oleh partai politik. Fungsi artikulasi dan agregasi
partai politik terutama golkar yang menjadi partai besar, tidak sampai ke dalam
substansi demokrasi. Kembali masyarakat diposisikan sebagai obyek bagi
kepentingan aktor-aktor politik.
Posisi
masyarakat mulai terfragmentasi, masyarakat masih banyak yang menginginkan
Amiruddin Maula sementara dalam tubuh legislatif yang mayoritas dari partai
golkar, sangat terlihat ke arah mana para anggota dewan menjatuhkan pilihannya.
Konstalasi semakin panas tatkala para anggota dewan merencanakan akan
mengadakan pemilihan walikota sebelum pemilu 2004. artinya bahwa kalau
pemilihan walikota ditunda setelah pemilu 2004 maka pemilihan walikota
berdasarkan UU No 32 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah,
maka pemilihan walikota dilakukan secara langsung oleh.
Disinilah antagonisme negara lahir ketika
legislatif menyelenggarakan pemilihan Walikota Makassar periode 2004-2009 yang
kemudian memilih Ilham Arief Siradjuddin, tanpa meresponi keinginan masyarakat
untuk melakukan pemilihan walikota secara langsung. Watak legislatif muncul
dengan pemaksaan kehendak berdasar konstitusi yang menurut mereka adalah sah
.
Dalam keadaan
ini posisi masyarakat lemah sementara negara mengalami penguatan karena tanpa
hambatan yang berarti legislatif berhasil melantik Ilham Arief Siradjuddin
bersamam A.Heri Iskandar sebagai walikota dan wakil walikota Makassar.
Masyarakat kembali tidak berdaya terhadap hegemoni kekuasaan negara dan
legislatif.
Beberapa hal
yang membuat posisi masyarakat mengalami pelemahan tersebut: pertama, masyarakat dalam melakukan
sebuah aksi belum mampu membuat suatu strategi gerakan yang menjadi isu sentral
dalam masyarakat tersebut, kedua,
tidak bersatunya masyarakat dalam satu gerakan atau terjadi fragmentasi pada
masyarakat dalam menyikapi suatu persoalan. Ketiga,
masyarakat Kota Makassar masih banyak yang menganggap bahwa urusan politik
bukan komsumsi semua lapisan mayarakat terutama masyarakat marjinal.
Posisi masyarakat yang demikian semakin
dimanfaatkan oleh negara/eksekutif dengan kolaborasi yang cantik dengan
legislatif untuk membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Beberapa kebijakan yang diambil oleh negara sangat merugikan masyarakat
terutama masyarakat marjinal seperti “penggusuran” atau meminjam isitilah
negara relokasi para pedagang kaki lima di Kawasan Pelabuhan Soekarno Hatta,
relokasi PKL di jalan pintu masuk kampus Universitas Hasanuddin, relokasi PKL
di kawasan Laguna (dahulu PKL pantai Losari)
serta Peraturan Pemerintah Kota Makassar No.15 tahun 2005 tentang
penertiban trayek jalur Kota Makassar yang sampai sekarang (agustus 2005)
menjadi persoalan yang belum menemukan titik terang.
Terjadinya
pelemahan posisi masyarakat ini selain karena persoalan internal seperti diatas
tetapi juga sebagai akibat penguatan posisi negara, dengan pengusaan alat
negara (polisi dan tentara). Negara melakukan tindakan represif terhadap
masyarakat, terutama terhadap para masyarakat yang melakukan aksi di jalan atau
di DPRD Makassar, selain itu kelompok yang selalu menjadi penyambung aspirasi
rakyat seperti mahasiswa dan NGO selalu berhadap-hadapan dengan tameng negara
(polisi/tentara) seperti dalam kasus penolakan SK Walikota tentang pemberlakuan
Bus Metro yang ditentang oleh para sopir serta mahasiswa, yang mengakibatkan
terjadinya aksi brutal tentara dan polisi terhadap mahasiswa dan rakyat yang
dikenal dengan peristiwa Amarah (April Makassar Berdarah) tahun 1998. dalam
perisitiwa tersebut merenggut 3 nyawa mahasiswa serta melukai puluhan mahasiswa
dan rakyat sipil.
Di kota
Makassar tindakan negara terhadap masyarakat terutama mahasiswa selalu terjadi
terutama setelah era reformasi, seperti dalam kasus peristiwa Universitas
Muslim Indonesia (UMI) tahun 2004 dimana polisi secara brutal memukuli dan
menembak para mahasiswa yang demonstrasi menolak kenaikan BBM. Negara kembali
memperlihatkan antagonismenya dalam melemahkan posisi masyarakat.
Padahal dalam
teori demokrasi terutama dalam konsolidasi demokrasi idealnya tidak perlu ada
antagonisme yang terlalu tinggi antara negara dan masyarakat. Sebab, sejarah
modern menunjukkan bahwa negara yang kuat tidak berarti masyarakat harus
dilemahkan, sama misalnya masyarakat kuat tidak lantas bermakna negara lemah
Olehnya itu
menciptakan sebuah tatanan yang baik antara negara dan masyarakat seharusnya
punya posisi yang sejajar, sehingga menjadi kekuatan yang sinergis dalam
pencapaian tatanan yang ideal. Dengan demikin negara yang kuat adalah negara
yang mampu menjalankan fungsinya sebagai aparatus yang berfungsi memberi
pelayanan (public service) kepada
masyarakat, menciptakan ketertiban dan rasa aman, memberikan kesejahteraan
adalah suatu yang mutlak menjadi tugas negara/pemerintah. Begitu juga
sebaliknya masyarakat yang kuat harus dimaknai masyarakat yang memiliki
kemampuan untuk melakukan kontrol
terhadap potensi negara yang mengarah melakukan praktek totaliter,
otoritarian ataukah parkatek seperti yang pernah dijalankan penguasa orde baru.
Redefenisi Peran Negara-Masyarakat.
Dalam
era reformasi terjadi penguatan posisi masyarakat dan negara, praktek represi
oleh negara yang menjadi tipikal Orde Baru untuk membendung resistensi
masyarakat sudah menjadi anakronisme untuk diteruskan ditengah suasana
kehidupan politik yang banyak berubah.
Untuk mencegah
eskalasi perlawanan yang lebih dahsyat negara menampilkan sosok yang responsif
dan akomodif terhadap banyaknya aspirasi dan tuntutan masyarakat. Untuk itu
negara (pemerintah Kota Makassar) juga berupaya melakukan redefinisi terhadap
peran negara-masyarakat. Melalui beberapa kesempatan pemerintah Kota Makassar
menginginkan adanya peran masyarakat yang lebih luas dan negara tidak perlu
terlalu dalam mencampuri apa yang dapat dilakukan dan diselesaikan oleh
masyarakat. “...
suka atau tidak suka,
sejalan dengan era demokratisais dan reformasi sperti sekarang ini, pembangunan
perkotaan harus dengan memberdayakan masyarakat, perubahan-perubahahn tersebut
tidak boleh hanya bertumpu pada pemerintah saja, saatnya memberdayakan semua potensi
yang ada
Lebih dari itu, negara juga mengakui bahwa
tidak mungkin mengurusi semua persoalan yang dibebabkan pada
pemerintah/negara. Lebih lanjut
dikatakan bahwa untuk mendorong pembangunan di Kota ini, semua stake holder harus dilibatkan, olehnya
itu tinggal bagaimana pemerintah membuat regulasi yang memungkinkan
keterlibatan semua kalangan, terutama dalam sektor ekonomi, “....untuk menfasilitasi berbagai kebutuhan
masyarakat, dibutuhkan kemampuan pemerintah yang dapat diperoleh masyarakat yang
mampu. Pemerintah Daerah tidak perlu lagi menjadi Santa Clauss atau menjadi semacam Superman. Tapi harus berfungsi sebagai regulator,
agar terjadi interkasi yang baik antara pelaku ekonomi
Negara sudah mulai membuka porsi bagi masyarakat untuk terlibat lebih
dalam kegiatan negara. Namun banyak pihak yang masih meragukan sikap jujur dan
niat baik baik tersebut mengingat negara mengalami degradasi yang cukup hebat,
sehingga sebuah kewajaran bila negara melakukan hal tersebut.
Bentuk Relasi Negara Masyarakat Kota
Makassar
Hubungan negara-masyarakat Kota
Makassar pada awal reformasi dilakoni oleh elit masyarakat yakni mereka yang
terdiri dari para kalangan kampus, dan orang-orang yang telibat dalam NGO.
Mereka melakukan perlawanan terhadap berbagai regulasi kebijakan yang diambil
oleh pemerintah. Perlawanan ini muncul dari kebijakan pemerintah terutama dalam
era orde baru yang banyak mengambil hak-hak warga negara. Hak paling dasar yag
dimiliki oleh manusia yakni kebebasan, berserikat dan bekumpul dibelenggu
selama penguasaan orde baru, hal ini
yang kemudian melahirkan kesadaran para mahasiswa dan kelompok NGO di Kota
Makassar melakukan kontrol terhadap negara.
Namun seiring dengan waktu masyarakat
luas mulai berani tampil untuk melakukan kontrol terhadap negara terutama bila
ada kebijakan negara/pemerintah Kota Makassar yang dirasakan merugikan terhadap
eksistensi dan kegiatan masyarakat. Di kota Makassar bentuk dan pola hubungan
negara masyarakat dapat terjadi dalam beberapa bentuk, namun yang paling menonjol
adalah penyampaian aspirasi dan demonstrasi menolak suatu kebijakan.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
negara yang telah membuat hegemoni terhadap masyarakatnya suatu saat akan
mengalami pelawanan. Namun yang idealnya
ketika terjadi sebuah kesejajaran antara negara dan masyarakat, negara tidak
mengontrol masyarakatnya dan masyarakat tidak berusaha menjadikan negara
dibawah kendalinya.
Akhirnya kita bisa memberikan penegasan
bahwa relasi negara pada era reformasi bersifat kompleks. Tidak seperti relasi
negara-masyarakat yang ada pada sistem otoritarian atau sistem demokrasi yang
stabil yang bentuk relasi negara-masyarakatnya lebih jelas, relasi
negara-masyarakat pada era reformasi belum bisa dipetakan secara generalisir.
Kesimpulan
Potret relasi negara-masyarakat pada
era reformasi ditandai dengan terjadinya fragmentasi pada negara maupun pada
masyarakat. Namun fragmentasi itu lebih
mencolok terjadi pada tubuh masyarakat, kondisi tersebut muncul selain karena
faktor internal juga karena faktor eksternal yakni dengan terjadinya penguatan
posisi negara yang melakukan tindakan represif terhadap masyarakat
Posisi negara-masyarakat Kota Makassar
pada orde baru mengalami pelemahan, terjadinya kondisi tersebut sebagai akibat
dominasi negara terhadap masyarakat. Pada era reformasi posisi masyarakat mulai
menguat seiring dengan berguirnya reformasi, negara mulai memberi porsi bagi
masayarakat untuk terlibat dalam berbagai kegiatan negara, bahkan sudah
meredefenisi peran negara dengan menginginkan adanya peran masyarakat yang
lebih luas. Negara sudah mulai menjadi katalisator dibanding sebagai
peneyelenggara.
Posisi negara yang pada awalnya mandiri
dan otonom berangsur-angsur menjadi independen, namun tidak dibarengi dengan
penguatan masyarakat yang menjadi pengontrol untuk tidak terciptanya
negara/pemerintah yang bertindak totaliter dalam praktek keseharian.
Rekomendasi
Negara hendaknya tidak melakukan
kontrol yang sangat ketat terhadap
masyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan kreasi dan inisiasi terhadap pengembangan
daerahnya, sepanjang dalam koiridor
normal. Kondisi koorparatisme yang dengan sengaja dibentuk oleh orde
baru, semoga tidak terjadi lagi dalam era reformasi, karena keadaan tersebut
tidak saja melemahkan kontrol masyarakat terhadap negara, tetapi juga
masyarakat mengalami alienasi dalam
kegiatan negara.
Negara yang dalam melakukan fungsi public service yang diwakili oleh
birokrat sebaiknya tidak mengambil jarak dengan masyarakat, sehingga antara
yang dilayani dan melayani jelas terlihat pola hubungan yang ideal. Masyarakat
yang enggan untuk berpartisipasi selama ini bukan semata-mata berasal dari
dalam diri masyarakat sendiri tetapi juga karena sistem yang ada dalam
lingkungannya menciptakan keadaan sehingga masyarakat tidak terlibat dalam
kegiatan negara.
Bagi masyarakat, dengan perubahan yang
terjadi dalam sistem tata pemerintahan, hendaknya tidak digunakan dalam
kerangka penguatan yang mengarah pada terjadinya pembangkangan terhadap negara
(civil disobelience)
Untuk
menghindari terciptanya konstelasi negara-masyarakat yang menghambat
konsilidasi demokrasi dalam era reformasi, maka diperlukan sebuah perubahan
yang tidak hanya dalam negara, tetapi masyarakat juga perlu ikut direformasi
dengan cara memberikan pencerahan melalui civic
educatian.
Hal ini
penting karena walaupun negara telah merubah sistem ketatanegaraan, tetapi
masyarakat masih berprilaku seperti dalam era orde baru, maka sangat susah
menciptakan konsisi ideal dalam negara.
DAFTAR PUSTAKA
Rusli A.M,dkk Partisipasi Politik Masyarakat Marjinal Kota
Makassar, Unhas
S. Errington. 1997, Siri, Darah
dan Kekuatan Politik di dalam Kerajaan Luwu
0 Komentar:
Posting Komentar