Minggu, 07 Februari 2016

Relasi Negara - Masyarakat Kota Makassar dalam Era Reformasi


Dasar Pemikiran 

Perdebatan yang menjadi aktual dalam dekade pasca tumbangnya era otoriterian orde baru adalah negara dan masyarakat. Posisi dua term ini menjadi begitu hangat dan menarik bukan hanya dalam negara ketiga seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang modernisasi telah maju.

Negara dan masyarakat menjadi suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, berbicara tentang negara pasti tidak terlepas dari masyarakatnya. Bahkan dalam perspektif strukturalis dan behavioralis menempatkan keduanya dalam kajian utama. Masyarakat sebagai aktor, mempunyai peranan dalam menentukan arah dan langkah sebuah negara. Tetapi negara sebagai institusi juga berperan dalam penentuan proposisi masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia masyarakat sebagai aktor belum mampu memberi warna dalam kehidupan negara, peranan negara begitu kuat mendominasi masyarakat, sehingga masyarakat menjadi alat dominasi negara. Ketelibatan masyarakat dalam  kehidupan negara menjadi suatu yang absurd. Peranan masyarakat terutama dalam aktivitas politik hanyalah sebagai obyek negara.
Dalam negara berkembang, sifat kepemimpinan politiknya masih lebih banyak ditentukan oleh segolongan elit penguasa, keikutsertaan warga negara dalam penentuan kebijakan yang menentukan kehidupan bangsanya relatif masih kecil, warga negara yang kebanyakan dari grass root dan masyarakat periperyal cenderung tidak diperhitungkan dalam proses politik. 

Konsep Relasi Negara dan Masyarakat
Negara
            Banyak teori yang bisa dipakai dalam menggambarkan tentang konsep negara, tetapi dalam konteks ini hanya beberapa yang kita gunakan dalam acuan ini. Karena tidak semua konsep negara bisa relevan dengan watak negara Indonesia dalam era reformasi. Kondisi negara dalam era reformasi tidak dapat dijelaskan hanya dengan merujuk pada salah satu teori negara saja, tetapi juga tidak bisa semua konsep negara juga bisa dipakai, ada bagian-bagian tertentu dalam karakter negara bisa menunjukkan berlakunya salah satu teori, tetapi bagian-bagian lain dari dinamika relasi negara-masyarakat tidak diungkapkan oleh teori yang sama, adalah suatu yang tidak sederhana untuk menentukan teori yang mana bermanfaat dalam menganilis posisi dan dinamika suatu negara yang kompleks mengalami berbagai perubahan seperti dalam kasus negara Indonesia.
Teori negara pluralis dan teori negara yang dikemukakan oleh Eric A. Nordlinger sekiranya bisa memberi gambaran yang jelas tentang fokus kajian kita nantinya.  Kedua teori negara ini relatif relevan dipakai dalam menjelaskan dinamika dan posisi negara dalam era reformasi, terutama kalau kita akan melihat negara dalam konteks partisipasi politik warga negaranya. Konsep negara pluralis bisa dipakai untuk melihat pluralitas kekuatan politik dalam kompetisinya berebut kekuasaan serta bagaimana para elit melibatkan masyarakat dalam merebut kekuasaan serta memberdayakannya. Sedangkan dalam teori negara Nordlinger berguna untuk melihat karakter negara pada era reformasi.
Terdapat dua postulat penting dalam teori negara pluralis. Pertama, negara merupakan institusi mandiri, keberadaan negara hanya merupakan alat yang netral dari kekuatan-kekuatan sosial yang ada di masyarakat untuk menduduki kekuatan. Kedua, setiap kekuatan di masyarakat saling berlomba untuk memegang kekuasaan lembaga negara.[1] Bagi bangsa Indonesia dalam era reformasi postulat pertama pada prkateknya bukanlah institusi yang tidak mandiri dan netral. Aktor-aktor negara yang duduk di institusi-institusi kekuasaan negara mempunyai kepentingan dan prefrensi sendiri-sendiri. Mereka membuat negara menjadi mandiri terhadap pengaruh atau tekakanan masyarakt yang berseberangan dengan kepentingan dan prefrensi mereka. Karenanya, negara juga tidak netral terhdap semua kelompok dalam masyarakat manakalah ada suatu kelompok yang berkempentingan dan preferensinya sesuai dengan aktor-aktor ini.
Berdasarkan postulat yang terakhir negara adalah ajang pertarungan antara kekuatan-kekuatan sosial masyarakat dalam perebutan kekuasaan. Akibatnya terjadi rotasi pemerintahan kekuasaan institusi-institusi negara, bahkan dalam tempo yang singkat terjadi pergantian kekuasaan.
Sementara teroi negara pluralis sangat menekankan sistem politik yang terbuka dan demokratis, dan memungkinkan kelompok-kelompok sosial bersaing menduduki negara. Prosedur politik untuk mewujudkan semua hal ini adalah pemilu. Mekanisme pemilu berkala dan dan dmokratis selalu membuka persaingan antara semua kelompok dalam menguasai institusi negara, juga mencegah termanifestasinya anarkisme dalam kompetisi dan konflik menguasa negara.
Karakter negara bisa diketahui dengan melihat derajat otonomi negara serta dukungan masyarakat terhadap negara, apakah tinggi, moderat atau malah rendah.[2] Nordlinger menggolongkan empat tipe negara, yakni negara kuat, negara independen, negara responsif dan negara lemah. Negara kuat adalah negara yang tingkat otonomi dan dukungan masyarakat tinggi. Negara bertindak berdasar preverensinya dan masyarakat selalau mendukung tindaka-tindakan itu. Negara independen yaitu negara yang tingkat otonominya tinggi namun dukungan masyarakatnya rendah. Negara responsif adalah negara yang derajat otonominya rendah tapi dukungan masyarakat tinggi. Sedangkan negara lemah adalah negara yang derajat otonomi dan dukungan masyarakat rendah.
Masyarakat
Masyarakat yang akan kita kemukakan dalam kajian ini merujuk pada konsep civil society, karena secara umum masyarakat yang menurut sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji secara khusus, lebih menekankan pada konteks masyarakat yang lebih luas, sementara dalam kajana ini akan melihat secara spesifik yakni dalam konteks civil societynya.
Makna civil society dari perjalanan waktu masuk dalam wacana ilmiah mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Pada  abad 18 di Eropa civil society dianggap sama dengan pengertian negara. Bahkan Hobbes dan Locke mengartikan sebagai tahapan evolusi dari natural society. Hobbes melihat sebagai peredam konflik antar individu dalam masyarakat supaya tidak saling menghancurkan. Sementara Locke bertolak dari paham kebebasan individu dan jaminan perlindungan hak milik pribadi.  Memasuki pertengahn abad 18, maknanya mulai dibedakan dari negara.  Adam Ferguson termasuk diantara pemikir yang sudah menempatkan civil society dalam ranah yang berbeda dengan negara. Dalam buku An Essay on the History of Civil society, Ferguson memaknai civil society sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup kuat mengimbangi kekuasaan negara, sehingga terhindar dari dominasi dan depostisme negara.
Konsep civil society mungkin tampak sederhana, namun secara historis ia merupakan gagasan yang berbelit-belit dan sukar dimengerti. Dawan Rawarjo menginventarisir tiga bentuk pengertian civil society. Pertama, civil society adalah suatu masyarakat politik yang mempunyai lembag-lembaga (negara dan partai politik), tatanan hukum (legal code), tatanan sipil (civil code), dan budaya kota (urban civility). Kedua, civil society merupakan kolektifitas yang berbeda dengan negara. Civil society adalah tatanan, aturan dan kelembagaan yang terpisah atau berada di luar negara. Ketiga,  civil society dilihat identik dengan masyarakat borjuis. Hal ini didasari kenyataan bahwa yang membentuk negara itu[3]  
Dalam konteks ini kita akan menggunakan konsep civil society secara eklektik dan dalam konteks demokrasi, namun tetap berpijak pada pembedaan negara dan civil society sebagai dua entitas yang harus terpisah. Kita bertolak dari proposisi bahwa negara dan masyarakat adalah dua entitas yang saling mempengaruhi satu sama lain.  
Relasi Negara dan Masyarakat
Dalam melihat negara dan masyarakat kita akan merujuk pada pandangan negara pluralis. Menurut pandangan pluralis negara berasal dari persinggungan berbagai kepentingan dalam masyarakat yang pada gilirannya mencapai titik ekuilibirium. Logika bepikir dalam konteks ini sudah dipahami dengan asumsi telah tumbuhnya civil society yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara. Asumsi yang mendasarinya adalah setiap warga negara memiliki akses yang sama dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan  negara[4]
Bila negara dikuasai oleh oleh suatu kelompok masyarakat tertentu, adalah logis bila negara memberikan pelayanan masyarakat tersebut. Akan tetapi, negara tetap tidak dapat semena-mena menindas kepentingan kelompok lain yang tidak berkuasa. Negara tetap membutuhkan dukungan kelompok tersebut untuk memperteguh dan melestarikan kekuasaan dalam jangka panjang.
Negara bukan sekumpulan nilai moral absolut melainkan wahana pertarungan politik tempat setiap kekuatan politik dalam masyarakat saling bersaing menguasai negara. Disini negara berada dalam posisi yang netral karena ia melayani dan mengakomodasi seluruh kepentingan.
Namun untuk melihat lebih jauh tentang hubungan negara-masyarakat kita mencoba memakai teori struktur dan agensi dalam perspektif Gidden.[5]  Struktur (negara) dan agensi (masyarakat) dipandang sebagai dualitas, keduanya berhubungan secara dialektik, dalam arti struktur dan agensi saling mempengaruhi dan berlangsung secara terus menerus, agensi dapat meninggalkan struktur dan tidak selalu tunduk kepadanya. Agensi dapat menemukan kesempatan atau kemungkinan keluar dari aturan tertentu yang baku yang oleh Gidden disebut sebagai dialectic of control yaitu kemampuan agensi dalam melawan kontrol dari struktur[6]. Dalam konteks ini negara yang mengontrol ketat warganya tidak berarti masyarakat tidak kehilangan celah sama sekali untuk keluar dari kontrol negara tersebut. Kreatifitas dan logika masyarakat akan mampu menciptakan ruang bebasnya sendiri, meski mungkin tidak bersifat frontal dan opoposional. Selanjutnya dalam melihat hubungan ini, kita akan melihat aktivitas manusia dengan dunia global yang oleh Gidden disebut sebagai social practice.
Konflik antara negara dan masyarakat dipicu oleh tarik menarik surveillance (pengawasan) yang dilakukan negara dengan hak warga yang dimiliki masyarakat. Hak warga yang terdiri dari kebebasan, hak untuk memilih, hak mendapatkan pekerjaan yang layak bila tidak dipenuhi oleh negara maka bisa menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap negara[7].

Relasi Negara-Masyarakat dalam Konsolidasi Demokrasi
Dalam pembahasan sebelumnya telah dikemukan karakterisitik negara. Negara kuat adalah negara yang memiliki derajat otonomi dan dukungan masyarakat yang tinggi, sedangkan negara independen adalah negara yang memiliki derajat otonomi tinggi dan dukungan masyarakat rendah.
Negara (pemerintah Kota Makassar) dalam era reformasi memiliki derajat otonomi dan dukungan masyarakat yang besar. Pada masa pemerintahan Walikota Amirruddin Maulana 1999-2004, negara memiliki derajat otonomi tinggi karena munculnya espektasi dan optimisme masyarakat terhadap figur walikota yang diharapkan memberikan perubahan dalam Kota Makassar. Ditunjang oleh dukungan anggota legislatif yang mengusung walikota dari fraksi Golkar yang memiliki jumlah anggota 38 atau sekitar  89 % dari jumlah angota DPRD Makassar.
Selain itu penguatan posisi negara dapat kita lihat dengan pogram pemeliharaan lingkungan yang dikenal dengan juma’t bersih[8] yang digalakkan, mendapat apresiaisi yang memadai dari masyarakat, walaupun ini hanya slogan semu dalam pemberdayaan tapi masyarakat memberi dukungan riil kepada negara.
Namun seiring waktu posisi negara mulai melemah hal ini tampak dalam berbagai kesempatan terlihat masyarakat sudah mengalami devriasi, ditambah dengan akan berakhirnya periode Amiruddin Maula tahun 2004-2009. Disini posisi Amiruddin Maula menjadi lemah karena Maula sudah tidak dicalonkan lagi oleh partai Golkar sebagai pemenang pemilu di Kota Makassar, Golkar sendiri mencalonkan ketua DPD Kota Makassar yakni Ilham Arief Sirajuddin sebagai calon Walikota Makassar periode 2004-2009.
Keadaan tersebut membuat negara kembali ke posisinya menjadi negara independen, dimana keinginan masyarakat sudah tidak menjadi prioritas dalam penentuan arah kebijakan, terutama yang dilakoni oleh partai politik. Fungsi artikulasi dan agregasi partai politik terutama golkar yang menjadi partai besar, tidak sampai ke dalam substansi demokrasi. Kembali masyarakat diposisikan sebagai obyek bagi kepentingan aktor-aktor politik.        
Posisi masyarakat mulai terfragmentasi, masyarakat masih banyak yang menginginkan Amiruddin Maula sementara dalam tubuh legislatif yang mayoritas dari partai golkar, sangat terlihat ke arah mana para anggota dewan menjatuhkan pilihannya. Konstalasi semakin panas tatkala para anggota dewan merencanakan akan mengadakan pemilihan walikota sebelum pemilu 2004. artinya bahwa kalau pemilihan walikota ditunda setelah pemilu 2004 maka pemilihan walikota berdasarkan UU No 32 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka pemilihan walikota dilakukan secara langsung oleh.
 Disinilah antagonisme negara lahir ketika legislatif menyelenggarakan pemilihan Walikota Makassar periode 2004-2009 yang kemudian memilih Ilham Arief Siradjuddin, tanpa meresponi keinginan masyarakat untuk melakukan pemilihan walikota secara langsung. Watak legislatif muncul dengan pemaksaan kehendak berdasar konstitusi yang menurut mereka adalah sah[9].
Dalam keadaan ini posisi masyarakat lemah sementara negara mengalami penguatan karena tanpa hambatan yang berarti legislatif berhasil melantik Ilham Arief Siradjuddin bersamam A.Heri Iskandar sebagai walikota dan wakil walikota Makassar. Masyarakat kembali tidak berdaya terhadap hegemoni kekuasaan negara dan legislatif.
Beberapa hal yang membuat posisi masyarakat mengalami pelemahan tersebut: pertama, masyarakat dalam melakukan sebuah aksi belum mampu membuat suatu strategi gerakan yang menjadi isu sentral dalam masyarakat tersebut, kedua, tidak bersatunya masyarakat dalam satu gerakan atau terjadi fragmentasi pada masyarakat dalam menyikapi suatu persoalan. Ketiga, masyarakat Kota Makassar masih banyak yang menganggap bahwa urusan politik bukan komsumsi semua lapisan mayarakat terutama masyarakat marjinal.
 Posisi masyarakat yang demikian semakin dimanfaatkan oleh negara/eksekutif dengan kolaborasi yang cantik dengan legislatif untuk membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat. Beberapa kebijakan yang diambil oleh negara sangat merugikan masyarakat terutama masyarakat marjinal seperti “penggusuran” atau meminjam isitilah negara relokasi para pedagang kaki lima di Kawasan Pelabuhan Soekarno Hatta, relokasi PKL di jalan pintu masuk kampus Universitas Hasanuddin, relokasi PKL di kawasan Laguna (dahulu PKL pantai Losari)  serta Peraturan Pemerintah Kota Makassar No.15 tahun 2005 tentang penertiban trayek jalur Kota Makassar yang sampai sekarang (agustus 2005) menjadi persoalan yang belum menemukan titik terang.
Terjadinya pelemahan posisi masyarakat ini selain karena persoalan internal seperti diatas tetapi juga sebagai akibat penguatan posisi negara, dengan pengusaan alat negara (polisi dan tentara). Negara melakukan tindakan represif terhadap masyarakat, terutama terhadap para masyarakat yang melakukan aksi di jalan atau di DPRD Makassar, selain itu kelompok yang selalu menjadi penyambung aspirasi rakyat seperti mahasiswa dan NGO selalu berhadap-hadapan dengan tameng negara (polisi/tentara) seperti dalam kasus penolakan SK Walikota tentang pemberlakuan Bus Metro yang ditentang oleh para sopir serta mahasiswa, yang mengakibatkan terjadinya aksi brutal tentara dan polisi terhadap mahasiswa dan rakyat yang dikenal dengan peristiwa Amarah (April Makassar Berdarah) tahun 1998. dalam perisitiwa tersebut merenggut 3 nyawa mahasiswa serta melukai puluhan mahasiswa dan rakyat sipil.
Di kota Makassar tindakan negara terhadap masyarakat terutama mahasiswa selalu terjadi terutama setelah era reformasi, seperti dalam kasus peristiwa Universitas Muslim Indonesia (UMI) tahun 2004 dimana polisi secara brutal memukuli dan menembak para mahasiswa yang demonstrasi menolak kenaikan BBM. Negara kembali memperlihatkan antagonismenya dalam melemahkan posisi masyarakat.
Padahal dalam teori demokrasi terutama dalam konsolidasi demokrasi idealnya tidak perlu ada antagonisme yang terlalu tinggi antara negara dan masyarakat. Sebab, sejarah modern menunjukkan bahwa negara yang kuat tidak berarti masyarakat harus dilemahkan, sama misalnya masyarakat kuat tidak lantas bermakna negara lemah[10]  
Olehnya itu menciptakan sebuah tatanan yang baik antara negara dan masyarakat seharusnya punya posisi yang sejajar, sehingga menjadi kekuatan yang sinergis dalam pencapaian tatanan yang ideal. Dengan demikin negara yang kuat adalah negara yang mampu menjalankan fungsinya sebagai aparatus yang berfungsi memberi pelayanan (public service) kepada masyarakat, menciptakan ketertiban dan rasa aman, memberikan kesejahteraan adalah suatu yang mutlak menjadi tugas negara/pemerintah. Begitu juga sebaliknya masyarakat yang kuat harus dimaknai masyarakat yang memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol  terhadap potensi negara yang mengarah melakukan praktek totaliter, otoritarian ataukah parkatek seperti yang pernah dijalankan penguasa orde baru.
Redefenisi Peran Negara-Masyarakat.
            Dalam era reformasi terjadi penguatan posisi masyarakat dan negara, praktek represi oleh negara yang menjadi tipikal Orde Baru untuk membendung resistensi masyarakat sudah menjadi anakronisme untuk diteruskan ditengah suasana kehidupan politik yang banyak berubah.
Untuk mencegah eskalasi perlawanan yang lebih dahsyat negara menampilkan sosok yang responsif dan akomodif terhadap banyaknya aspirasi dan tuntutan masyarakat. Untuk itu negara (pemerintah Kota Makassar) juga berupaya melakukan redefinisi terhadap peran negara-masyarakat. Melalui beberapa kesempatan pemerintah Kota Makassar menginginkan adanya peran masyarakat yang lebih luas dan negara tidak perlu terlalu dalam mencampuri apa yang dapat dilakukan dan diselesaikan oleh masyarakat. “...suka atau tidak suka, sejalan dengan era demokratisais dan reformasi sperti sekarang ini, pembangunan perkotaan harus dengan memberdayakan masyarakat, perubahan-perubahahn tersebut tidak boleh hanya bertumpu pada pemerintah saja, saatnya memberdayakan semua potensi yang ada[11]  
   Lebih dari itu, negara juga mengakui bahwa tidak mungkin mengurusi semua persoalan yang dibebabkan pada pemerintah/negara.  Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk mendorong pembangunan di Kota ini, semua stake holder harus dilibatkan, olehnya itu tinggal bagaimana pemerintah membuat regulasi yang memungkinkan keterlibatan semua kalangan, terutama dalam sektor ekonomi, “....untuk menfasilitasi berbagai kebutuhan masyarakat, dibutuhkan kemampuan pemerintah yang dapat diperoleh masyarakat yang mampu. Pemerintah Daerah tidak perlu lagi menjadi Santa Clauss atau menjadi semacam Superman. Tapi harus berfungsi sebagai regulator, agar terjadi interkasi yang baik antara pelaku ekonomi 
Negara sudah mulai membuka porsi bagi masyarakat untuk terlibat lebih dalam kegiatan negara. Namun banyak pihak yang masih meragukan sikap jujur dan niat baik baik tersebut mengingat negara mengalami degradasi yang cukup hebat, sehingga sebuah kewajaran bila negara melakukan hal tersebut.
Bentuk Relasi Negara Masyarakat Kota Makassar
         Hubungan negara-masyarakat Kota Makassar pada awal reformasi dilakoni oleh elit masyarakat yakni mereka yang terdiri dari para kalangan kampus, dan orang-orang yang telibat dalam NGO. Mereka melakukan perlawanan terhadap berbagai regulasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Perlawanan ini muncul dari kebijakan pemerintah terutama dalam era orde baru yang banyak mengambil hak-hak warga negara. Hak paling dasar yag dimiliki oleh manusia yakni kebebasan, berserikat dan bekumpul dibelenggu selama penguasaan orde baru, hal ini yang kemudian melahirkan kesadaran para mahasiswa dan kelompok NGO di Kota Makassar melakukan kontrol terhadap negara.
         Namun seiring dengan waktu masyarakat luas mulai berani tampil untuk melakukan kontrol terhadap negara terutama bila ada kebijakan negara/pemerintah Kota Makassar yang dirasakan merugikan terhadap eksistensi dan kegiatan masyarakat. Di kota Makassar bentuk dan pola hubungan negara masyarakat dapat terjadi dalam beberapa bentuk, namun yang paling menonjol adalah penyampaian aspirasi dan demonstrasi menolak suatu kebijakan. 
         Memang tidak bisa dipungkiri bahwa negara yang telah membuat hegemoni terhadap masyarakatnya suatu saat akan mengalami pelawanan.  Namun yang idealnya ketika terjadi sebuah kesejajaran antara negara dan masyarakat, negara tidak mengontrol masyarakatnya dan masyarakat tidak berusaha menjadikan negara dibawah kendalinya.
         Akhirnya kita bisa memberikan penegasan bahwa relasi negara pada era reformasi bersifat kompleks. Tidak seperti relasi negara-masyarakat yang ada pada sistem otoritarian atau sistem demokrasi yang stabil yang bentuk relasi negara-masyarakatnya lebih jelas, relasi negara-masyarakat pada era reformasi belum bisa dipetakan secara generalisir.


Kesimpulan
         Potret relasi negara-masyarakat pada era reformasi ditandai dengan terjadinya fragmentasi pada negara maupun pada masyarakat. Namun fragmentasi  itu lebih mencolok terjadi pada tubuh masyarakat, kondisi tersebut muncul selain karena faktor internal juga karena faktor eksternal yakni dengan terjadinya penguatan posisi negara yang melakukan tindakan represif terhadap masyarakat
         Posisi negara-masyarakat Kota Makassar pada orde baru mengalami pelemahan, terjadinya kondisi tersebut sebagai akibat dominasi negara terhadap masyarakat. Pada era reformasi posisi masyarakat mulai menguat seiring dengan berguirnya reformasi, negara mulai memberi porsi bagi masayarakat untuk terlibat dalam berbagai kegiatan negara, bahkan sudah meredefenisi peran negara dengan menginginkan adanya peran masyarakat yang lebih luas. Negara sudah mulai menjadi katalisator dibanding sebagai peneyelenggara.
         Posisi negara yang pada awalnya mandiri dan otonom berangsur-angsur menjadi independen, namun tidak dibarengi dengan penguatan masyarakat yang menjadi pengontrol untuk tidak terciptanya negara/pemerintah yang bertindak totaliter dalam praktek keseharian.

Rekomendasi
         Negara hendaknya tidak melakukan kontrol yang sangat ketat  terhadap masyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan kreasi dan inisiasi terhadap pengembangan daerahnya, sepanjang dalam koiridor  normal. Kondisi koorparatisme yang dengan sengaja dibentuk oleh orde baru, semoga tidak terjadi lagi dalam era reformasi, karena keadaan tersebut tidak saja melemahkan kontrol masyarakat terhadap negara, tetapi juga masyarakat  mengalami alienasi dalam kegiatan negara.
         Negara yang dalam melakukan fungsi public service yang diwakili oleh birokrat sebaiknya tidak mengambil jarak dengan masyarakat, sehingga antara yang dilayani dan melayani jelas terlihat pola hubungan yang ideal. Masyarakat yang enggan untuk berpartisipasi selama ini bukan semata-mata berasal dari dalam diri masyarakat sendiri tetapi juga karena sistem yang ada dalam lingkungannya menciptakan keadaan sehingga masyarakat tidak terlibat dalam kegiatan negara.
         Bagi masyarakat, dengan perubahan yang terjadi dalam sistem tata pemerintahan, hendaknya tidak digunakan dalam kerangka penguatan yang mengarah pada terjadinya pembangkangan terhadap negara (civil disobelience) 
Untuk menghindari terciptanya konstelasi negara-masyarakat yang menghambat konsilidasi demokrasi dalam era reformasi, maka diperlukan sebuah perubahan yang tidak hanya dalam negara, tetapi masyarakat juga perlu ikut direformasi dengan cara memberikan pencerahan melalui civic educatian.
Hal ini penting karena walaupun negara telah merubah sistem ketatanegaraan, tetapi masyarakat masih berprilaku seperti dalam era orde baru, maka sangat susah menciptakan konsisi ideal dalam negara.


DAFTAR PUSTAKA
Ala Andre Bayo, 1985, Hakekat Politik: Siapa Melakukan Apa Untuk Memperoleh Apa, Akademika, Yogyakarta

Anthony Gidden, 1987, The Nation-State and Violence University of California, Los Angels

Dawan Raharjo, 1995, Kelas Menengah Sipil dan LSM, Gramedia Pustaka, Jakarta

Denny B.C Hariandja, 1999, Birokrasi nan Pongah, Belajar Kegagalan Orde Baru, Kanisisu, Yogyakarta

Herbel Rudolf, Sosial Movement: An Introduction in Polical Sociology

Jamie Mackiee dan Andrew Maclnttyre, “Politics”, dalam Hal Hill (ed)
Indonesia’s New Order, The Dinamics of Socio-economicTransformation.

Masoed Mochtar , Andrew,Colin Mac. Perbandingan Sistem Politik, Yogyyakarta, Gadjah
Mada Universitiy Press.

Mahaji Noesa, membangun Spirit Makssar, Makassar Dulu, Kini dan Akan Datang

Moleong Lexy J., 2002, Metode Penelitian Kualitatif, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung

Munfrizal Manan, 2004, Gerakan Melawan Elit, Reisist Book. Yogyakarta.

Rusli A.M,dkk Partisipasi Politik Masyarakat Marjinal Kota Makassar, Unhas

Surbakti Ramlan,1997, Memahami Ilmu Politik, PT.Gramedia, Jakarta

Sarwita Pawiloy, 1987 Arus Refolusi Di Sulawesi Selatan, Yayasan 45, Makassar

S. Errington. 1997, Siri, Darah dan Kekuatan Politik di dalam Kerajaan Luwu
            Zaman Dahulu, Bingkai Budaya Sulawesi Selatan



[1] Michael Hill, The Proces in the Modern State dalam Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elit
[2] Nordilnger dalam Mundfrizal Manan, gerakan Melawan Elit
[3] Dawan Raharjo, 1995, Kelas Menengah Sipil dan LSM, kata pengantar dalam buku Zaim Saidi, Secangkir Kopi Max Havelaar. Gramedia Pustaka, Jakarta
[4] Denny B.C Hariandja, 1999, Birokrasi nan Pongah, Belajar Kegagalan Orde Baru, Kanisisu, Yogyakarta
[5] Relasi negara-masyarakat dalam perspektif Gidden telah pernah dipakai oleh Munfarizal Manan dalam Gerakan Rakyat Melawan Elit
[6] Anthony Gidden, 1987, The Nation-State and Violence University of California, Los Angels
[7] Munfrizal Manan, 2004, Gerakan Melawan Elit, Reisist Book. Yogyakarta.
[8] Kota Makassar mempunyuai slogan Teduh Bersinar (Tekad Untuk Hidup Bersih Aman dan Rapih) negara/pemerintah kota Makassar mengajak masyarakt dalam berpartisipasi dalam menjaga lingkungan sekitarnya setiap hari jumat.
[9] Secara konstitusi periode walikota Makassar sudah berakhir sebelum pemilu 2004 (april-september) tetapi tidak ada pelanggaran ketika legilslatif menunggu pemilihan walikota secara langsung atau setelah pemilu 2004
[10] Rober W.Hefner dalam Munfarizal Manan, Gerakan Melawan Elit
[11] Walikota Makassar dalam Mahaji Noesa, membangun Spirit Makssar, Makassar Dulu, Kini dan Akan Datang

0 Komentar: